Lihat ke Halaman Asli

Karnita

TERVERIFIKASI

Guru

Bukan Sekadar Angka, Kemiskinan Butuh Rekayasa Sosial yang Membuka Jalan Harapan

Diperbarui: 29 Juli 2025   11:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suasana Kota Badung, Luhut: Metode hitung kemiskinan perlu direvisi, jumlah miskin naik jadi 194,8 juta (World Bank). (Dok. PRMN)   

Bukan Sekadar Angka, Kemiskinan Butuh Rekayasa Sosial yang Membuka Jalan Harapan

Refleksi Kritis atas Upaya Partisipatif dalam Menanggulangi Kemiskinan di Indonesia
Oleh Karnita

Pendahuluan

Di balik gegap gempita pembangunan infrastruktur dan kemajuan digital, terselip realitas getir yang belum terselesaikan: kemiskinan yang terus menghantui sebagian besar rakyat Indonesia. Pada 28 Juli 2025, Pikiran Rakyat memuat artikel berjudul “Rekayasa Sosial Partisipatif Jadi Kunci Tanggulangi Kemiskinan di Indonesia” yang menggugah keprihatinan dan kesadaran banyak pihak. Artikel ini menyoroti paparan Guru Besar Sosiologi Pedesaan IPB University, Prof. Lala Kolopaking, yang menekankan pentingnya pendekatan sosial partisipatif sebagai strategi menanggulangi kemiskinan secara berkelanjutan. Ia menyebut bahwa kemiskinan bukan hanya soal data statistik, tetapi soal rekayasa kesadaran kolektif.

Penulis terpanggil membahas artikel ini karena melihat urgensi memperkuat pendekatan berbasis masyarakat di tengah lemahnya efektivitas bantuan negara yang sering bersifat jangka pendek. Kabar Bank Dunia yang mengungkap lonjakan jumlah orang miskin dari 171,8 juta menjadi 194,8 juta merupakan alarm serius. Bila kemiskinan dibiarkan menjadi masalah “biasa” yang hanya dikaji di ruang rapat, maka kita akan gagal memahami denyut nadi rakyat kecil yang sebenarnya. Di sinilah partisipasi sosial menjadi bukan sekadar pelengkap, melainkan elemen utama.

Melalui artikel ini, penulis berusaha menggali lima aspek krusial yang diangkat dalam pemberitaan tersebut: urgensi rekayasa sosial partisipatif, peran masyarakat sebagai subjek perubahan, pentingnya sinergi kebijakan fiskal dan moneter, risiko kemiskinan akibat krisis global, dan kelemahan metodologi pengukuran yang menutupi realitas. Ulasan ini diakhiri dengan refleksi kritis atas peran kita semua dalam mengubah kemiskinan menjadi narasi pemberdayaan.

1. Rekayasa Sosial Bukan Ilusi, Tapi Solusi

Rekayasa sosial sering kali dipahami secara negatif, seolah-olah manipulasi terhadap masyarakat. Namun dalam konteks kemiskinan, istilah ini menemukan maknanya sebagai rekonstruksi sadar untuk menciptakan kondisi sosial yang adil dan berdaya. Prof. Lala Kolopaking menyebut pendekatan ini sebagai "rekayasa sosial partisipatif", yakni model pembangunan yang menempatkan masyarakat sebagai aktor utama, bukan objek kebijakan. Penanggulangan kemiskinan yang berlandaskan partisipasi, menurutnya, mencakup proses panjang: perencanaan, implementasi, dan evaluasi bersama masyarakat.

Konsep ini mendesak untuk direalisasikan karena kemiskinan adalah persoalan struktural yang tak bisa diselesaikan melalui bantuan tunai semata. Bila rekayasa sosial dilakukan tanpa partisipasi, maka hasilnya akan timpang dan tidak berkelanjutan. Di sinilah pemerintah perlu mengubah pendekatan: dari top-down menjadi bottom-up. Dari logika karitatif menuju pemberdayaan sosial yang memandirikan.

Masyarakat harus dilibatkan dalam pembuatan keputusan, desain program, hingga evaluasi dampaknya. Jika partisipasi hanya formalitas, maka kebijakan sosial tak lebih dari proyek politik jangka pendek. Rekayasa sosial yang sejati adalah yang membangkitkan kesadaran kolektif, bukan menggantikan inisiatif warga.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline