Lihat ke Halaman Asli

Kanopi FEBUI

TERVERIFIKASI

Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi FEB UI

Tubir dan Tabir: Menyingkap Pertumbuhan Ekonomi Negatif

Diperbarui: 12 Oktober 2020   09:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi pertumbuhan ekonomi. (sumber: THINKSTOCKS)

Kita kembali hidup di zaman resesi dunia. Angin defeatism meniup mencekam ke seluruh dunia pada kuartal keempat ini, tak terkecuali Indonesia. Pemerintah memproyeksikan bahwa pertumbuhan ekonomi 2020 berkisar -1,1% sampai 0,2%. Bayangkan, angka pertumbuhan negatif kembali hadir dalam diskursus ekonomi kita.    

Kehadirannya membuat semua pelaku ekonomi bergidik. Apalagi kalau kita tinjau pertumbuhan ekonomi tahunan Indonesia sampai kuartal kedua 2020. Kita seperti orang yang terjatuh dan tertimpa tangga pada waktu yang sama. Lihat saja kurva di bawah ini (tradingeconomics.com, 2020):

(Sumber: tradingeconomics.com)

Coba perhatikan bentuknya. Kurva di atas terlihat seperti sebuah tubir, alias tebing/jurang yang sangat dalam. Kini, perekonomian Indonesia sedang memasuki tubir tersebut. 

Berkontraksi seiring dengan restriksi kegiatan ekonomi yang berlaku pada hampir semua negara di dunia. Ibarat kendaraan, ekonomi kita mendadak pindah ke gigi rendah.

Akan tetapi, tubir pertumbuhan ekonomi negatif bukan akhir dari rantai fenomena. Ia hanya sebuah tabir yang menyembunyikan berbagai implikasi ekonomi di lapangan. Apa saja implikasi-implikasi tersebut? Bagaimana implikasi-implikasi itu mempengaruhi para pelaku ekonomi? Mari kita singkap bersama-sama.

Pertama, subjective well-being (SWB) manusia Indonesia jatuh drastis. Terlebih lagi, jatuh lebih dalam dibandingkan peningkatan SWB ketika pertumbuhan ekonomi positif terjadi. De Neve et al. (2015:24) menyatakan bahwa SWB manusia dua kali lebih sensitif terhadap pertumbuhan ekonomi negatif. Mengapa?

Sebelum melangkah lebih jauh, mari kita pahami arti SWB terlebih dahulu. Subjective well-being adalah ukuran yang mencerminkan kepuasan hidup individu sebagai proxy terhadap konsep decision utility (De Neve et al., 2015:5). Sederhananya, ini adalah cerminan kepuasan hidup dari pelaku ekonomi pada waktu tertentu.

Konsep ini sendiri diukur lewat survei seperti BRFSS, Eurobarometer, dan Gallup World Poll. Dalam survei tersebut, responden menjawab berbagai pertanyaan mengenai situasi kehidupan mereka. Pada konteks ini, SWB akan difokuskan kepada pengukuran evaluatif dari kesejahteraan manusia sebagai makhluk ekonomi (De Neve et al., 2015:5).

Kalau kita berpikir dengan logika sederhana nan polos, maka SWB akan bergerak seiring pertumbuhan ekonomi. Tentu SWB akan naik ketika pertumbuhan positif terjadi.

Namun, SWB juga akan turun seiring pertumbuhan negatif dengan tingkat yang sama. Sehingga, terjadi sebuah hubungan yang simetris.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline