Mohon tunggu...
Kanopi FEBUI
Kanopi FEBUI Mohon Tunggu... Jurnalis - Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi FEB UI

Kanopi FEBUI adalah organisasi yang mengkhususkan diri pada kajian, diskusi, serta penelitian, dan mengambil topik pada permasalahan ekonomi dan sosial di Indonesia secara makro. Selain itu, Kanopi FEBUI juga memiliki fungsi sebagai himpunan mahasiswa untuk mahasiswa program studi S1 Ilmu Ekonomi dimana seluruh mahasiswa ilmu ekonomi merupakan anggota Kanopi FEBUI.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Tubir dan Tabir: Menyingkap Pertumbuhan Ekonomi Negatif

9 Oktober 2020   18:49 Diperbarui: 12 Oktober 2020   09:46 758
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pertumbuhan ekonomi. (sumber: THINKSTOCKS)

Kita kembali hidup di zaman resesi dunia. Angin defeatism meniup mencekam ke seluruh dunia pada kuartal keempat ini, tak terkecuali Indonesia. Pemerintah memproyeksikan bahwa pertumbuhan ekonomi 2020 berkisar -1,1% sampai 0,2%. Bayangkan, angka pertumbuhan negatif kembali hadir dalam diskursus ekonomi kita.    

Kehadirannya membuat semua pelaku ekonomi bergidik. Apalagi kalau kita tinjau pertumbuhan ekonomi tahunan Indonesia sampai kuartal kedua 2020. Kita seperti orang yang terjatuh dan tertimpa tangga pada waktu yang sama. Lihat saja kurva di bawah ini (tradingeconomics.com, 2020):

(Sumber: tradingeconomics.com)
(Sumber: tradingeconomics.com)

Coba perhatikan bentuknya. Kurva di atas terlihat seperti sebuah tubir, alias tebing/jurang yang sangat dalam. Kini, perekonomian Indonesia sedang memasuki tubir tersebut. 

Berkontraksi seiring dengan restriksi kegiatan ekonomi yang berlaku pada hampir semua negara di dunia. Ibarat kendaraan, ekonomi kita mendadak pindah ke gigi rendah.

Akan tetapi, tubir pertumbuhan ekonomi negatif bukan akhir dari rantai fenomena. Ia hanya sebuah tabir yang menyembunyikan berbagai implikasi ekonomi di lapangan. Apa saja implikasi-implikasi tersebut? Bagaimana implikasi-implikasi itu mempengaruhi para pelaku ekonomi? Mari kita singkap bersama-sama.

Pertama, subjective well-being (SWB) manusia Indonesia jatuh drastis. Terlebih lagi, jatuh lebih dalam dibandingkan peningkatan SWB ketika pertumbuhan ekonomi positif terjadi. De Neve et al. (2015:24) menyatakan bahwa SWB manusia dua kali lebih sensitif terhadap pertumbuhan ekonomi negatif. Mengapa?

Sebelum melangkah lebih jauh, mari kita pahami arti SWB terlebih dahulu. Subjective well-being adalah ukuran yang mencerminkan kepuasan hidup individu sebagai proxy terhadap konsep decision utility (De Neve et al., 2015:5). Sederhananya, ini adalah cerminan kepuasan hidup dari pelaku ekonomi pada waktu tertentu.

Konsep ini sendiri diukur lewat survei seperti BRFSS, Eurobarometer, dan Gallup World Poll. Dalam survei tersebut, responden menjawab berbagai pertanyaan mengenai situasi kehidupan mereka. Pada konteks ini, SWB akan difokuskan kepada pengukuran evaluatif dari kesejahteraan manusia sebagai makhluk ekonomi (De Neve et al., 2015:5).

Kalau kita berpikir dengan logika sederhana nan polos, maka SWB akan bergerak seiring pertumbuhan ekonomi. Tentu SWB akan naik ketika pertumbuhan positif terjadi.

Namun, SWB juga akan turun seiring pertumbuhan negatif dengan tingkat yang sama. Sehingga, terjadi sebuah hubungan yang simetris.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun