Lihat ke Halaman Asli

Pemindahan Ibu Kota, Keterlibatan Pihak Swasta, dan Problematika yang Mungkin Terjadi

Diperbarui: 13 Juli 2017   08:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Saat ini, beredar kabar bahwa pemerintah sedang merencanakan pemindahan ibu kota Indonesia dari Jakarta ke salah satu kota di Kalimantan. Menurut Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Basuki Hadimuljono, salah satu calon lokasi ibu kota yang baru adalah Palangkaraya. Pengkajian mengenai layak atau tidaknya pemindahan lokasi ibu kota ke salah satu dari berbagai wilayah di Kalimantan sedang dilakukan oleh Bappenas dan akan direncanakan selesai pada akhir tahun 2017. Keputusan mengenai lokasi dan pembangunan secara fisik pun direncanakan dimulai pada awal tahun 2018. Namun apakah pemindahan ibu kota tersebut memang benar-benar perlu dilakukan pemerintah saat ini?

Bank Indonesia melaporkan bahwa Indonesia kini telah memiliki utang luar negeri yang menumpuk hingga lebih dari 4.274 triliun rupiah per akhir kuartal I 2017. Jumlah tersebut merupakan sebuah peningkatan sebesar 2,9 persen secara tahunan (yoy) dibandingkan pada kuartal sebelumnya yang mencapai 2 persen (yoy). 

Menurut Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Basuki Hadimuljono, alasan utama pemindahan ibu kota segera dilakukan adalah untuk pemerataan pembangunan Pulau Jawa dengan luar Pulau Jawa. Menteri Perdagangan, Enggartiasto Lukita, juga menambahkan bahwa Jakarta bukanlah lagi ibu kota negara, namun pusat perekonomian akan tetap berada di Jakarta. Jadi masih perlukah Indonesia melakukan perpindahan ibu kota saat ini? Perlukah Indonesia melibatkan pihak swasta dalam pendanaan pembangunan di wilayah ibu kota yang baru di tengah melimpahnya utang luar negeri?

Tentu saja perpindahan ibu kota ke luar pulau Jawa akan meningkatkan pembangunan di lokasi tujuan ibu kota yang baru tersebut. Namun proses tersebut bukanlah hal yang mudah dilakukan dalam jangka pendek. Diperlukan waktu setidaknya lebih dari 5 tahun untuk benar-benar siap secara fisik dan infrastruktur dalam menjadi pusat pemerintahan Indonesia yang baru. Hal tersebut juga tentunya akan menghabiskan dana yang sangat banyak, sementara APBN kita pun masih dirasa sangat kurang untuk mendanai sektor-sektor penting lainnya. Akibatnya pemerintah melakukan kerjasama dengan pihak swasta dalam pembangunan ibu kota tersebut. Padahal yang kita ketahui bahwa apabila pihak swasta terlibat dalam pendanaan pembangunan gedung maupun infrastruktur ibu kota yang baru, maka pemerintah harus membayar imbalan atau sewa kepada pihak swasta tersebut hingga jangka waktu yang sangat panjang. Dengan kata lain, Indonesia akan "selamanya berhutang" pada pihak swasta. Padahal yang akan dibangun di lokasi tersebut merupakan "pusat pemerintahan" Indonesia yang semestinya didanai oleh Indonesia sendiri.

Keterlibatan pihak swasta dalam pendanaan pembangunan di lokasi ibu kota yang baru juga akan memicu berbagai reaksi dan kecurigaan masyarakat. Pasalnya, dengan maraknya berbagai tindak KKN yang dilakukan oleh banyak anggota pemerintahan saat ini, seperti kasus korupsi E-KTP yang sedang marak diperbincangkan, akan memicu peluang yang sangat besar bagi "pelaku nakal" untuk melakukan tindak KKN dengan bekerjasama dengan pihak swasta. 

Misalnya dalam upaya pembebasan lahan akan memunculkan banyak makelar-makelar tanah hingga pembuatan kontrak kerjasama dengan pihak swasta dalam pembangunan infrastruktur yang berujung pada "mark up"biaya. Bahkan peluang tersebut juga memicu kemungkinan terjadinya hal terburuk yaitu tindak KKN yang mengakibatkan keterlibatan pihak swasta dalam pembuatan kebijakan pemerintahan. Hal tersebut mungkin saja terjadi jika pihak swasta mendanai sebagian besar pembangunan ibu kota yang baru, sehingga mereka merasa perlu adanya "balas jasa" dan keterlibatan mereka dalam pembuatan kebijakan selanjutnya untuk menguntungkan pihak mereka sendiri.

Apabila hal-hal kemungkinan buruk tersebut terjadi, maka akan menimbulkan efek jangka panjang yang sangat merugikan masyarakat Indonesia sendiri. Kebijakan yang akan dibuat selanjutnya akan cenderung menguntungkan pihak swasta dengan masuknya berbagai investasi asing hingga tenaga kerja asing. Saat inipun mulai bermunculan tenaga kerja asing, terutama yang berasal dari Tiongkok dalam pembangunan proyek-proyek infrastruktur, seperti menjadi kuli proyek hingga mandor. Seharusnya tenaga kerja Indonesia lah yang digunakan dalam pembangunan proyek tersebut sehingga mengurangi jumlah pengangguran yang ada.

Sebelumnya juga disinggung bahwa pemindahan ibu kota dilakukan untuk melakukan pemerataan pembangunan, namun pusat perekonomian masih akan tetap berada di Jakarta. Pemerataan pembangunan memang dirasa perlu dan memberikan dampak positif terhadap lokasi calon ibu kota yang baru dan berbagai lokasi di sekitarnya. Namun dalam jangka panjang pun sektor perekonomian pun akan berkembang di lokasi tersebut dan memicu terbentuknya pusat perekonomian yang baru. Padahal yang kita ketahui bahwa pulau Kalimantan merupakan cadangan hutan utama Indonesia selain Sulawesi dan Irian Jaya dan bahkan memiliki berbagai macam kekayaan alam dan kawasan yang dilindungi yang belum terjamah oleh banyak orang.

Dalam jangka panjang, diproyeksikan akan banyak terjadi penggusuran hutan-hutan untuk keperluan pembangunan perekonomian, baik di lokasi ibu kota yang baru maupun di berbagai wilayah sekitarnya. Penggusuran tersebut dialokasikan untuk pembangunan berupa gedung-gedung pencakar langit, perhotelan, kawasan perumaha elit, dan berbagai real estatelainnya. Hal tersebut pastinya tidak dapat dipungkiri dan menjadi konsekuensi dari adanya pembangunan di zaman ini. 

Gejolak masyarakat akan dampak pembangunan terhadap pihak-pihak yang concern di bidang lingkungan pun akan banyak terjadi. Pasalnya pembangunan dengan penggusuran tersebut memang akan mengurangi kawasan hijau Indonesia serta berbagai kekayaan dalam keanekaragaman flora dan fauna di dalamnya.

Di tengah utang luar negeri yang semakin meningkat, maraknya tindak KKN yang terjadi, kesejahteraan masyarakat Indonesia yang masih rendah saat ini, dan berbagai analisa problematika yang mungkin saja muncul di masyarakat terhadap pemindahan ibu kota yang baru, apakah memang perlu dilakukan proyek pemindahan tersebut saat ini?


________________________________

oleh Kania Larasati Hartoyo

Mahasiswi Pascasarjana, Magister Sains Agribisnis

Institut Pertanian Bogor




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline