Lihat ke Halaman Asli

KANA KURNIAWAN

Ketua Umum PP Pemuda PUI, Direktur Mataram Institut

Korona dan Taman-taman Surga

Diperbarui: 6 Oktober 2020   15:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Oleh: Kana Kurniawan

Sudah hampir sebulan RBC mengkarantina diri karena Korona atau Covid-19. Sekolah Azra, Kuttab meliburkan. Belajarnya diganti jarak jauh, mulai hafalan hadits dan ayat al-Qur'an, praktik penghayatan tema-tema belajar, serta setoran aktifitas harian. Photo kolase jadi agenda wajib---bahwa ia menjalankan belajar efektif di rumah. Bundanya sibuk mendokumentasikannya. Awalnya berat, tapi kelamaan jadi agenda harian. Saya sendiri harus mendampingi mulai dari shalat subuh, dhuha, aktifitas belajar di rumah, menghafal dan pengkondisian anak-anak bermain.

Wabah Korona yang melanda dunia adalah horor. Korban berjatuhan tiap saat. Mirip adegan perang biologi. Ia datang merobohkan daya tahan tubuh siapa pun. Sekalinya masuk kepada tubuh yang imunnya sedang turun, langsung menyerang paru-paru. Lebih mengerikan lagi. Tim-tim medis yang hidupnya berpolakan bersih, higienis dan selalu safety saat bertugas banyak yang terkena Korona. Mereka berjuang menyelamatkan orang lain, tapi juga terancam jiwanya. Mereka banyak berpulang demi penyelamatan kemanusiaan.

Sedih memang. Jiwa bercampur aduk saat lihat situasi penanganan Korona. Kurang koordinasi dan tim medis mengenakan APD dengan jas hujan seharga 10 ribu. Kebayang bahayanya. Wajar saja, saat masker langka, APD susah ditemukan kalaupun ada harganya tiada terkira mahalnya. Membayangkan wajah-wajah itu bergetar. 

Merawat pasien di sisi jurang kematian. Tiada pilihan. Tak ada lagi kata-kata pengaduan, kecuali keikhlasan sebagaimana para pejuang di tengah perang. Tak ada kata: "ayo lari. Mari pergi sejauhnya. Hindari peperangan ini. Ingat kita punya anak kecil yang sedang lucu-lucunya. Kita punya orang tua renta di rumah. Siapa yang akan merawat jika kita kalah perang dan wafat di medan kemanusiaan. Bayangkan, keluarga kita menunggu di depan rumah. Menunggu kedatangan kita. Mereka menatap jalangan yang biasa kita lewati saat pergi dan pulang. Kini, saat mereka lihat berita. Hanya tatapan kosong dan deraian ari mata saat mereka lihat kita sudah terbungkus kafan berbalut kantung mayat. Tak ada kata-kata indah yang biasa memanggil. Petugas pengantar jenazah lunglai melihat jenazah terbujur di hadapan orang-orang terkasihnya. Mereka tahunya: ayahku, bundaku berjuang diruang isolasi Korona untuk menyelamatkan orang-orang dari cengkramannya."    

Membangun Taman Syurga

Korona bagi kami memberikan banyak hikmah. Kami menuainya tiap saat. Soal kematian yang cepat, soal keharusan kita menyiapkan kalau-kalau harus berjuang melawannya di ruang isolasi. Tapi kami juga harus mendidik anak-anak dengan pola pendidikan terbaik. Sehari-semalam mereka bersama. Tidurnya kita ketahui seperti apa. Apa yang mereka lakukan saat terbangun. Karakter apa yang menjadi kekhasan masing-masing. Kadang menggemaskan bahkan tidak jarang bikin uring-uringan. Bertengkar mereka merebutkan yang remeh temeh. Tapi itulah masa mereka hidup bersama keluarga saat diisolasi: tanpa keluar pagar, tidak bermain di rumah teman dan atau sekedar saling bersapa.

Hikmah ini bisa menjadi jalan kita menata taman-taman syurga di rumah. Kita bercita-cita tertinggi memiliki taman syurga bersama yang menaungi saat di syurga. Dambaan siapa pun yang beriman akan hari akhirat. Meniti di syurga dengan taman yang indah atau berpijak di jalan yang mengantar ke neraka, naudzubillah. Semuanya diserahkan kepada kita sebagai umat manusia yang berkesempatan mendapatkan rahmat-Nya. Salahsatunya dari pola hidup di rumah. Rumah adalah taman syurga kita dan anak-anak di saat Korona mewabah.

Pagi 

(04.30) menjelang adzan subuh.

Anak-anak dibangunkan. Ada yang mudah dibangunkan. Tidak mengapa ada yang belum terbiasa. Biarkan mereka menikmati alunan ayat al-Qur'an yang dibaca sambil kepala dido'akan. Tak harus membuat mereka tidak nyaman untuk menyambut subuh. Cukup tatap wajah-wajah lugu dan lucu dari atas sajadah. Allah sedang menidurkan mereka, tapi mereka didekap lembut kasih sayang Allah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline