Lihat ke Halaman Asli

Kaharuddin Anshar

Anak kehidupan, tumbuh di lorong desa

Merdeka dan Kakek itu

Diperbarui: 16 Agustus 2019   22:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Menua, dan senja. Seperti lelaki tua di sudut malam itu. Memeluk merdeka di bebaris kunang-kunang. Matanya tak pernah terang menatap, kecuali Tuhan yang menitip matahari juga cahaya bulan di malam hari. Seandainya tak ada itu, mungkin nasibnya tragis, terjatuh mengais jalan hidup yang penuh gelap.

Sejak 74 Tahun lalu, ia baru mengenal merdeka dari kabar kalender yang dibagikan peserta pemilu, Juga dari derap sepatu di jalan  depan rumahnya. Saat debu  jalan depan rumahnya tersapu angin memasuki pembaringannya, ia melongok lewat jendela gubuknya. Derap hentakan sepatu itu keras

"sudah baris berbaris rupanya". Tak percaya kabar penanda merdeka itu, ia memperhatikan kalender dari peserta pemilu yang digunakan menutup lubang di dinding rumahnya "benar 17 Agustus 2019 hari ini kita merdeka"

Lelaki tua itu, mengambi tembakau di mejanya, digulungnya pelan. Tak lama asap mengepul memenuhi kamarnya. Sesekali ia menatap langit langit rumahnya, dari langit rumahanya kadang cahaya menyelinap masuk atau jika hujan riuh, ia kuyup dalam rumahnya.

Kemerdekaan telah tiba, ia lelaki "beruntung" mengenal merdeka dari derap sepatu baris berbaris depan rumahnya juga dari kalender peserta pemilu yang berfungsi dari musim kampanye kemarin.

Jika tak ada itu, ia tak percaya Indonesia telah merdeka.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline