Lihat ke Halaman Asli

Kadir Ruslan

TERVERIFIKASI

PNS

Ironi Negara Agraris, Sang Importir yang Tidak Bisa Menikmati Hasil Buminya Sendiri

Diperbarui: 1 Maret 2018   12:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tanaman kakao.(KOMPAS/ASWIN RIZAL HARAHAP)

Di bangku sekolah kita selalu diajarkan bahwa kekayaan alam yang melimpah merupakan modal penting bagi Indonesia untuk bersaing dengan negara-negara lain di pentas dunia. Sayang, potensi besar ini belum dimanfaatkan secara maksimal.

Statistik menunjukkan bahwa luas daratan Indonesia mencapai 1,9 juta Km2. Sebagian besarnya sangat cocok untuk lahan pertanian. Orang bilang tanah kita adalah tanah surga. Tongkat dan kayu pun bisa jadi tanaman. Lahan pertanian yang luas lagi subur telah menjadikan produksi komoditas pertanian kita melimpah. Tidak membikin heran bila saat ini Indonesia menjadi negara produsen utama sejumlah komoditas pertanian di kancah global.

Dalam soal beras, misalnya, meski belakangan ini kita harus mengimpor beras sebanyak 500 ribu ton, produksi di dalam negeri sejatinya melimpah. Data Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) memperlihatkan bahwa pada 2016 Indonesia menempati posisi ke-3 sebagai negara penghasil padi terbesar di dunia setelah China dan India dengan produksi mencapai 77 juta ton.

Sayang, beras sebanyak ini ternyata belum mencukupi untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri secara berkelanjutan. Hal ini tercermin dari gejolak harga beras yang merupakan indikasi suplai yang tidak mencukupi. Salah satu penyebabnya adalah konsumsi beras penduduk Indonesia yang sangat tinggi. Bayangkan, setiap orang Indonesia diperkirakan mengkonsumsi 114 Kg beras dalam setahun berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS). Konsekuensinya, peningkatan produksi beras di dalam negeri acapkali tidak mampu mengimbangi peningkatan kebutuhan beras akibat pertambahan jumlah penduduk

Ironisnya, produksi beras yang melimpah ini ternyata sebagian besarnya merupakan hasil pengorbanan dan jerih payah para petani kecil yang mengelola lahan sawah rata-rata kurang dari setengah hektar (petani gurem). Hasil Sensus Pertanian tahun 2013 yang yang dilaksanakan BPS menunjukkan bahwa rata-rata luas lahan sawah yang dikelola oleh petani kita hanya 0,2 hektar. Sementara hasil Survei Kajian Cadangan Beras (SKCB) yang dilaksanakan BPS pada Maret 2015 memperlihatkan bahwa sekitar 70 persen rumah tangga tanaman padi merupakan petani gurem.

Sumber: BPS

Dengan luas lahan garapan yang tidak seberapa ini, skala usaha tani yang menguntungkan tentu bakal sulit dicapai. Itulah sebabnya meski produksi padi nasional secara agregat cukup besar, banyak petani yang tetap hidup dalam jeratan kemiskinan. Secara faktual, sekitar 75 persen petani miskin di negeri ini adalah petani padi dan palawija. Hal ini tecermin dari perkembangan nilai tukar petani tanaman pangan yang cenderung melandai.

Hasil SKCB juga mengungkap fakta menarik. Sebanyak 41 persen dari total rumah tangga tanaman padi yang mencapai 14 juta rumah tangga ternyata merupakan konsumen neto (net consumers) beras. Rata-rata pembelian beras oleh rumah tangga produsen padi (termasuk net producers) mencapai 2,37 Kg dalam sebulan. Itu artinya, meski merupakan produsen beras, mereka juga harus membeli beras dengan harga pasar karena produksi yang dihasilkan tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Sumber: BPS

Fakta ini juga menunjukkan, kenaikan harga beras bakal memukul daya beli mayoritas petani yang juga miskin. Karena itu, argumen bahwa kebijakan impor beras untuk menstabilkan harga dalam negeri bakal menyengsarakan petani patut ditelaah lebih dalam. Pertanyaannya adalah petani yang mana dan seberapa besar dampaknya? Faktanya, tidak jarang kenaikan harga beras yang tinggi justru tidak dinikmati oleh petani. Alasannaya sederhana, petani tidak memproduksi beras tapi gabah sementara selisih harga antara gabah dan beras cukup tinggi. Margin ini tentu saja bakal dinikmati oleh usaha penggilingan padi, distributor, dan pedagang.

Selain beras, Indonesia juga berjaya sebagai produsen utama sejumlah komoditas perkebunan, seperti kokoa, kelapa sawit, dan kelapa. Masih berdasarkan data FAO, pada 2016 Indonesia menjadi produsen kelapa sawit dan buah kelapa bulat terbesar di dunia. Sementara untuk biji kokoa, Indonesia merupakan produsen terbesar ke-3 di dunia setelah Pantai Gading dan Ghana.

Tidak membikin heran bila kemudian Indonesia menjadi eksportir utama komoditas-komoditas tersebut di pasar global. Namun sayangnya, kita lebih banyak mengekspor komoditas (bahan mentah) ketimbang produk turunannya.

Di negeri orang, komoditas-komoditas tersebut nilai tambahnya meningkat karena diolah kembali menjadi sejumlah produk turunan. Dan celakanya, tidak sedikit dari produk-produk turunan tersebut yang kemudian diekspor kembali ke Indonesia.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline