Lihat ke Halaman Asli

Juni Wati Sri Rizki

Pembina Gerakan MULIA (Muslimah Peduli Alam)

Mau Bilang Kampret? Silakan!

Diperbarui: 6 April 2019   23:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ini tidak akan mengurangi honor saya sebagai penulis, haha... Nah, lho. Saya tidak keberatan, apalagi sampai marah-marah, tidak akan! Asalkan bukan dengan maksud mengolok-olok (mengolok-olok saudara sebangsa itu tidak baik lho). Saya malah akan merasa tersanjung. Buat saya ini adalah pujian. 

Setidaknya ini saya anggap sebagai sebuah pengakuan atas stamina saya yang masih prima. Masih sanggup begadang di usia yang sudah tidak muda. Tapi, tolong, jangan dihubung-hubungkan dengan paslon 02. Jangan! Ini tidak ada hubungan sama sekali. Kalau di awal kalian sudah terlanjur berpikir demikian, maaf, kalian salah besar guys. Jujur, hingga detik ini saya belum menentukan pilihan, kok.

Jangan berprasangka dulu, saya ini bukan bermaksud golput, hanya saja saya tidak mau sembrono, gegabah menentukan pilihan sekarang. Kan, kampanye belum usai? Saya masih penasaran, di antara dua paslon, siapa yang paling jago memikat hati rakyat. Terus terang, sejauh ini perasaan saya masih pasang surut. Persis seperti gelombang di laut.

Jujur, saya kepincut bangat sama program-program yang ditawarkan Pak Sandi. Bukan kepincut sama wajahnya, yang konon katanya bikin banyak emak-emak klepek-klepek. Saya tidak termasuk! Saya fokus sama programnya!

Saya akui, beliau ini benar-benar keren visinya. Millenial banget. Antara langit dan bumi dengan programnya Pak Kiyai Ma'ruf. Mohon maaf buat pendukung Pak Kiyai Ma'ruf, bukan bermaksud merendahkan beliau. Tidak! Saya hanya tidak sepakat dengan segala macam program beliau yang kesannya sangat sentralistik. Itu bukan tipe saya.

Jelas, usai debat ketiga, pilihan saya mulai mengarah ke Paslon 02. Tapi, melihat akting Pak Wi-Wo (ini gara-gara Pak Kiyai nyebut-nyebut DUDI, saya jadi ikut-ikutan) di panggung debat ke empat, saya malah jadi bimbang menentukan pilihan.

Kadang saya gregetan lihat Pak Wi, eh...kadang saya malah takut sama Pak Wo... saat beliau ngomongin soal perang, merinding bulu kuduk saya. Wong, ngomongin pisau cutter aja udel saya ngilu, apalagi membahas alutsista...waaah... hampir ngompol betulan saya.

Saya juga tidak sedang menunggu serangan fajar, kok. Ngapain? Gak penting! Kalo hanya sekadar amplop berisi uang lima ratus ribu, honor saya sebagai nara sumber lebih dari itu. Hehe... Atau kalaupun ditambah dua bungkus minyak goreng kemasan, itu juga tak sepadan dengan penghasilan dari artikel saya yang diterbitkan. Sombong? Ah, nggak juga. 

Saya cuma mau menegaskan, bahwa saya bukan pemilih bayaran. Saya tidak mau sembarangan terjebak dalam permainan peran. Loh, kok? Lah, iya. Pemilu ini kan panggung politik, berarti ada pertunjukan peran. Banyak orang yang sedang bermain peran. Termasuk Pak Wi-Wo.

Mereka itu sedang menjalankan skenario, ada penulis skrip dan ada sutradaranya. Nggak percaya? Konfirmasi saja sama Mbah Google. Tanyakan rekam jejak mereka, pasti kalian akan paham.

Jangan kalian kira Pak Wi-Wo itu musuh bebuyutan. Tidak! Mereka itu hanya sedang terikat kesepakatan. Kesepakatan untuk berkompetisi. Tampil sebagai oposisi. Dari dulu sampai sekarang mereka itu berteman. Sama-sama dekat dengan Bu Mega.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline