Lihat ke Halaman Asli

Jusman Dalle

TERVERIFIKASI

Praktisi ekonomi digital

Di Balik Adopsi Teknologi "Reduce Smell Technology" Industri Rokok

Diperbarui: 1 Agustus 2018   11:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Meski harganya semakin mahal, rokok tetap saja diminati. Menurut kementrian kesehatan 1/3 penduduk Indonesia adalah perokok (Sumber: fctuntukindonesia.org)

Rokok adalah bisnis bernilai jumbo. Bayangkan saja, sepanjang tahun 2017 dari industri ini pemerintah mengantongi pajak sebesar Rp 149,9 triliun. Penerimaan pajak terbesar yang bahkan mengalahkan penerimaan dari sektor industri telekomunikasi atau energi.

Besaran pajak rokok memang fantastis. Berdasarkan Peraturan Meneteri Keuangan No 146 Tahun 2017, tarif cukai hasil tembakau ditetapkan sebesar 57%. Ini menempatkan rokok mirip barang mewah dari aspek pajak atau kontribusi kepada negara.

Melihat angka-angka di atas, wajar saja jika ada yang berseloroh begini. Perokok itu orang penting. Terutama bagi negara. APBN dapat dana ekstra dari perokok. Jumlah sebesar Rp 149,9 triliun tersebut setara dengan 350.000 gedung sekolah baru, atau dapat digunakan membangun jalan tol sepanjang 2.500 Km dengan asumsi biaya Rp 60 miliar per kilometer.

Lantas, bagaimana dari aspek bisnis? Dampak bisnis rokok ternyata juga tidak kecil. Rokok adalah bisnis berskala ekonomi yang masif. Siklus ekonomi rokok dari hulu ke hilir menghidupi jutaan jiwa. Menurut keterangan Kementrian Perindustrian, industri rokok menyerap 6,1 juta tenaga kerja.

Skala ekonomi yang jumbo dari bisnis rokok tersebut sejalan dengan kondisi bisnis perusahaan-perusahaan rokok. Pemain besar seperti Bentoel Group, Djarum, atau Gudang Garam selalu punya nafas panjang untuk menyelami industri ini. Setiap tahun, perusahaan-perusahaan tersebut mengantongi keuntungan yang tidak kecil.

Tahun 2016, Bentoel Group membukukan pendapatan sebsar Rp 19,2 triliun. Pendapatan Gudang Garam lebih besar lagi. Perusahaan yang berpusat di Kediri itu mengantongi Rp 76,27 triliun dalam setahun.

Meski regulasi rokok kini lebih ketat dan cukai rokok semakin besar, nyatanya jumlah perokok tidak susut. Berbagai aturan tentang rokok tidak bisa menahan laju jumlah perokok.

Apalagi, ada yang memandang rokok sebagai elemen budaya. Itu artinya, sulit membayangkan rokok hilang dari bumi Nusantara. Yang terjadi malah sebaliknya. Jumlah perokok bahkan semakin meningkat dari 27% pada tahun 1995 menjadi 36,3% tahun 2016. Pasar yang menjanjikan.

Tak heran bila perusahaan-perusahana rokok berlomba jadi nomor satu. Terus melakukan inovasi hingga diversifikasi produk. Ada pula yang rutin mengeluarkan merek hingga varian baru.

Salah satu perusahaan rokok misalnya, mengeluarkan produk  yang mengusung fitur Reduce Smell Technology. Dari bentuknya yang lebih kecil, inovasi rokok bahkan sudah terlihat. Demikian pula taglineLess Smell Is More yang diusung sebagai komunikasi marketing.

Inovasi rokok reduce smell teknologi menyasar market kaum muda dan profesional (sumber : instagram @sarif.madan)

Menyasar market kaum muda dan profesional yang aktif bersosialisasi, Bentoel mengklaim teknologi yang diadopsi pada kertas bakaran rokok berbentuk compact ini dapat mereduksi bau. Reduced smell technology mampu mengurangi baru sehingga dapat diterima oleh perokok pasif sekali pun.
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline