Lihat ke Halaman Asli

Kado Terindah Sebelum Meninggal Dunia

Diperbarui: 29 November 2017   10:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pekerjaan saya menuntut saya hidup terpisah dengan istri dan anak-anak saya. Jika saya berkesempatan stay dirumah, seperti biasa setelah membangunkan anak-untuk sholat subuh, Bunda memulai dengan rutinitas masak dan menyiapkan sarapan buat anak-anak. Saya langsung menuju mesin cuci dengan setumpuk pakaian kotor kami sekeluarga. 

Istri saya memulai aktifitasnya dari setengah empat pagi untuk bertahajjud, kemudian lanjut shalat subuh, seselesainya bergegas untuk merendam pakaian. Selepas subuh anak sulung saya berbelanja ke Pasar, sepulangnya Bunda langsung eksekusi memasak sarapan dan bekal untuk anak-anak. Selesai memasak dilanjutkan dengan menyetrika baju. Karena bisa dibilang keluarga besar (dengan banyak anggota), istri saya melakukan rutinitas mencuci dan setrika rutin setiap hari untuk menghindari pekerjaan yang terlalu menumpuk. 

Bunda memiliki kebiasaan yang cukup unik, untuk menyetrika baju ia butuh waktu yang terbilang sangat lama. Selain semuanya disetrika (termasuk underwear, serbet dan sebagainya), hasil setrikaannya juga super licin dan harum, terutama khusus kemeja saya, dan baju-baju seragam anak. Iseng saya pernah bertanya "lama banget selesainya?".  Jawaban selalu tergiang hingga sekarang. "Pak, saya lama menyetrika pakaian kerja Bapak dan anak-anak disamping biar licin dan rapi, selama prosesnya saya sembari berdoa, semoga pakaian yang kalian pakai membuat nyaman dalam bekerja maupun belajar. Untuk Bapak supaya dimudahkan dalam menghadapi hari kerja yang berat, serta rejeki halal yang berkah, dan untuk anak-anak supaya ilmu yang diajarkan para guru mereka mudah diterima. Masya Allah... spontan terucap dalam hati.

Kami pasangan suami istri dengan latar belakang suku dan budaya yang berbeda. Saya dari suku Sumbawa Nusa Tenggara Barat sementara Bunda dari Jawa Tengah, tepatnya Jepara. Simfoni dua latar belakang budaya yang berbeda membuat keluarga kami sangat dinamis. Dalam hal-hal prinsip Bunda sangat taat pada suami, dalam hal yang berkaitan dengan pendidikan dan me-manage ekonomi kerumah-tanggaan saya pasrahkan sepenuhnya kepada Bunda.

Saya terbilang laki-laki yang polos. Tidak pernah sekalipun membuka amplop gaji dari sejak pertama menikah hingga almarhumah meninggal. Bahkan ketika gaji saya berbasis ATM beliaulah yang memegang dan mengelolanya. Sebagai konsultan dan motivator  yang seringkali mendapatkan tambahan penghasilan, sepulang dari acara, perolehan insentif yang saya dapat langsung saya serahkan. Keluarga kami punya tradisi unidistribusi keuangan baik yang sifatnya rutin maupun insidentil.  

Saya dan istri tidak pernah menyembunyikan dompet kami. Bebas saja kami letakkan di sudut-sudut ruang keluarga. Anak-anak bebas mengambil uang untuk kebutuhan sekolah dengan catatan ada bukti. Untuk uang jajan, anak-anak saya terbiasa membawa bekal dan minum dari rumah. Ibunya sedari kecil memberi doktrin positif kepada mereka bahwa bawa bekal olahan dari rumah jauh lebih baik dan higienis daripada jajan diluar. Disamping itu, Bunda juga selalu up to date untuk belajar memasak masakan kekinian (seperti; pasta, macaroni schotel, dan macam-macam cake) supaya anak tidak minder membawa bekal dari rumah, secara yang mereka bawa tidak kalah dengan menu-menu di restoran.

Bunda lulusan Diploma II jurusan Bahasa Indonesia. Sampai dengan kelahiran anak ketiga masih mengabdi sebagai guru  di sebuah SMP swasta di daerah Jepara. Kami berkomitmen setelah anak ketiga lahir, Bunda harus full dirumah mengabdi sebagai ibu rumah tangga. Komitmen tersebut ia laksanakan dengan tulus dan sangat baik oleh beliau.

Seiring perjalanan waktu, anak-anak memasuki usia sekolah. Selepas anak sulung dan anak kedua kami lulus SD, kami sepakat memasukkan mereka ke Pondok Pesantren di daerah Solo, Jawa Tengah. Keyakinan kami sederhana, anak-anak harus belajar agama sebelum akil baligh (dewasa). Alhamdulillah mereka lulus sebagai santri/santriwati dengan nilai yang tidak mengecewakan.

 Untuk tingkat SLTA pilihan kami jatuh di SMA Muhammadiyah di Kota Yogyakarta. Alhamdulillah, terpisah dari orang tua sejak lulus SD tidak menghalangi mereka untuk berprestasi baik dan hidup mandiri tanpa menyusahkan orang tua. Tidak ada black record selama mereka sekolah terpisah dari kami.

Ketika putri pertama kami memasuki bangku kuliah, cukup mengejutkan karena ia memilih Seni sebagai pilihan. Peran bunda yang sedari kecil telah melihat bakat dan kemampuan putrinya tidak menolak ketika anak kami memilih kuliah Desain Grafis di sebuah perguruan tinggi swasta di Yogyakarta. Bakat seni yang entah turun dari siapa menghantarkan dia lulus diploma tiga tepat waktu. Tadinya kami sebagai orang tua agak pesimis dengan pilihannya. Namun yang menarik, di tahun kedua sudah mandiri dan mampu membayar kebutuhan kuliahnya sendiri hasil dari sebagai freelancer graphic designer

Alhamdulillah D-3 nya lulus tepat waktu bahkan setelah lulus masih diberi kepercayaan oleh kampus untuk memberikan pelatihan di bidang ilustrasi. Setelah lulus sempat istirahat sembari bekerja dan berkarya selama satu tahun. Selanjutnya melanjutkan S1 di sebuah perguruan tinggi negeri di kota Solo untuk mengambil jurusan Komunikasi. Pertimbangannya, jurusan tersebut masih linier dengan bidang yang ia kuasai sebelumnya. Ketika D3 dia merasa sudah cukup belajar teknis, kemudian pada S1 dia dapat belajar "how to sell" yang didapat melalui materi public relation dan advertising yang diampu dalam jurusan Komunikasi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline