Lihat ke Halaman Asli

Serial Maulid Nabi [1]: Rasulullah Menangis

Diperbarui: 26 Juni 2015   08:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

catatan: dalam rangka menyambut Maulid Nabi Muhammad, saya akan menurunkan beberapa tulisan tentang Nabi atau keluarga Nabi. Ini yang pertama. Terima kasih.

Rasulullah Menangis

Wajah adalah jendela hati. Di sana, seseorang mengungkapkan perasaan hati atau menyembunyikannya.

Seorang sastrawan perempuan Mesir, Widad Sakakini, menulis sebuah buku berjudul Ummahât al-Mu’minîn wa Banât al-Rasûl. Di salah satu bab buku yang menulis biografi para istri dan anak perempuan Rasulullah itu, Widad menulis kesedihan Rasulullah karena kepergian anak laki-lakinya, Ibrahim.

Ibrahim lahir dari Mariah al-Mishriyyah (Mariah dari Bangsa Mesir), istri-Rasulullah dari bangsa Qibti (Qibti adalah penduduk asli Mesir. Orang Barat menyebut Mesir dengan “Egypt”, yang diambil dari kata “Qibth” atau Qibti). Sehingga, Mariah disebut juga dengan Mariah al-Qibthiyyah atau “Mariah dari Bangsa Qibti”.

Betapa bahagia Rasulullah dengan kehadiran Ibrahim. Ia menjadi pelipur lara setelah satu per satu putri beliau meninggal dunia, selain Fathimah. Saking bahagianya, pernah beliau membanggakan putranya itu kepada Aisyah, istrinya yang paling pencemburu.

“Lihatlah, Aisyah! Bukankah Ibrahim ini mirip sekali denganku?” kata Rasulullah sambil menyodorkan Ibrahim kepada Aisyah, suatu ketika. Aisyah membuang muka dan tak mau memedulikannya. Ia cemburu.

Kebahagiaan Rasulullah bersama Ibrahim tak berlangsung lama. Pada usia yang baru satu setengah tahun, Ibrahim meninggal dunia setelah sebelumnya jatuh sakit. Ia meninggal di pangkuan Rasulullah. Dengan kesedihan mendalam, beliau mengatakan, “Ibrahim … Aku tidak membutuhkan apa pun dari Allah selain engkau.”

Rasulullah mengiringi jenazah Ibrahim ke pemakaman dengan membisu. Lamat-lamat terdengar suara-suara yang membesarkan hati, meminta beliau bersabar.

Sepulang dari pemakaman, Rasulullah tetap bersedih. Mata beliau masih berkaca-kaca. Kesedihan beliau tampak mendalam. Hal itu membuat para sahabat khawatir. Mereka berusaha menenangkan dan mengingatkan beliau agar tak larut dalam kesedihan.

Rasulullah berkata kepada mereka, “Aku tidak dilarang bersedih. Yang dilarang adalah meratap berlebihan dengan suara kencang. Kesedihan dan air mata yang kalian lihat di wajahku adalah ungkapan cinta dan kasih sayang di hatiku.”

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline