Lihat ke Halaman Asli

Julkhaidar Romadhon

Kandidat Doktor Pertanian UNSRI

Polemik Beras dan Cita-cita Stabilisasi Harga

Diperbarui: 27 Maret 2018   12:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Sumber gambar: infobisnis.co.id)

 

Belakangan ini, banyak terjadi polemik "perberasan" di Tanah Air. Mulai dari perdebatan perlu tidaknya impor beras, kontroversi penyerapan gabah beras petani, hingga stabilisasi harga pangan. Sepertinya, banyak pihak yang kurang paham terhadap perubahan kebijakan perberasan yang ada berikut dampak yang ditimbulkan. Ketidakpahaman inilah yang pada akhirnya menimbulkan mispersepsi yang terjadi di lapangan.

Benang kusut perberasan Tanah Air, akan semakin bertambah kusut ketika para pembuat kebijakan juga kurang memahami. Para pejabat harus menyadari fenomena beras yang sampai saat ini masih sebagai komoditas politis, strategis dan ekonomis. Tidak usah jauh-jauh kita menengok sejarah akan kehebatan komoditas beras.

Polemik impor beras yang terjadi sudah menjadi santapan lezat lawan-lawan politik pemerintahan untuk dipolitisasi. Isu impor beras sangat seksi untuk digoreng, dibanding isu lain seperti impor gandum hingga kenaikan bahan bakar minyak (BBM).

Selagi beras tetap menjadi makanan utama 250 juta rakyat Indonesia, selama itu pula beras tetap akan menjadi komoditas strategis. Beras mampu menjadi pemicu atau lokomotif dalam memimpin kenaikan harga pangan yang lainnya. Dengan kata lain, pengerek inflasi.

Dengan melihat begitu strategisnya komoditas yang satu ini, seringkali kegagalan pemerintah dalam pengelolaannya dijadikan sebagai simbol kegagalan yang lainnya. Oleh karena itu, pemerintah harus menempatkan beras sebagai komoditas ekslusif yang memerlukan perlakuan khusus. Selain itu, pemerintah juga harus melihatnya dari berbagai dimensi serta sudut pandang yang berbeda.

Di belahan negara manapun komoditas pangan utama selalu mendapat perhatian lebih. Mereka belajar dari sejarah dan kegagalan pemerintahan akibat kegagalan dalam pengelolaan. Negara yang pernah mengalaminya tidak mau lagi berjudi dan mempertaruhkan nasib jutaan rakyatnya.

Semua ini bisa kita tengok dengan cadangan pangan utama mereka yang disimpan pemerintahnya dalam jumlah besar. Tengok saja China yang memiliki cadangan 40 juta ton beras, Filipina ada 4 juta ton beras dan bahkan India yang juga sangat besar sekitar 30 juta ton beras.

Lalu bagaimana dengan Indonesia? Seberapa besar cadangan berasnya dan sejauh mana keberpihakan pemerintah dalam memandang beras sebagai komoditas strategis?

Pemahaman kebijakan beras yang keliru
Ternyata cadangan beras pemerintah (CBP) yang dititipkan ke gudang BULOG hanyalah 250-300 ribu ton saja. Sungguh ironis dengan jumlah penduduk yang begitu banyak, terlalu berisiko tinggi dan pertaruhannya sangatlah besar. Mengapa? Tidak lain dan tidak bukan, jika negara kita mengalami kondisi kritis semacam peperangan atau bahaya kelaparan maka stok tersebut hanya dapat bertahan sekitar tiga hari saja.

Untuk melihat pentingnya cadangan beras pemerintah bisa kita buktikan sekarang. Pemerintah kesulitan dalam melakukan stabilisasi harga yang sudah bertengger tinggi. Sampai dengan sekarang stok beras CBP yang ada di gudang BULOG sudah minus sekitar 28 ribu ton. Oleh karena itulah, impor beras sebanyak 500 ribu ton terpaksa dilakukan dari luar. Stok beras ini akan diguyur ke pasaran umum dan sangat berguna dalam rangka meredam kenaikan harga beras menjelang puasa Ramadhan dan Idul Fitri.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline