Lihat ke Halaman Asli

Jujun Junaedi

TERVERIFIKASI

Penulis dan Pendidik dari Bandung 31324

Secangkir Hikmah Harga Sachet: Kopi Lokal Murni, Ikhtiar Sembuh, dan Semangat Hidup

Diperbarui: 3 Oktober 2025   20:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Secangkir kopi hitam murni dan sebungkus tepung kopi lokal. | Dok. Pribadi/Jujun Junaedi/kolase

Kopi Hitam, Ikhtiar Sembuh, dan Kebiasaan yang Membekas

Saya adalah penyuka kopi. Garis bawahi itu, penyuka kopi. Meskipun saya tidak merokok, atau malah sangat tidak suka merokok, entah mengapa ritual minum kopi ini seperti kebutuhan harian yang tak boleh saya lewatkan. Kopi sudah menjadi bagian integral dari jadwal saya, dari pikiran saya, bahkan dari sejarah hidup saya. Ini bukan sekadar minuman penghilang kantuk, ini adalah kebiasaan yang punya akar kuat.

Kebiasaan ini sebenarnya terbilang moderat. Saya minum kopi maksimal dua kali atau dua cangkir setiap hari. Tapi paling sering, saya hanya minum satu kali per hari. Waktu favorit saya adalah sore hari, menjelang senja, atau saat malam tiba ketika pikiran butuh disegarkan kembali setelah seharian bekerja. Minum kopi di saat-saat itu membuat pikiran saya jernih dan fokus.

Jenis kopi yang saya minum pun spesifik, kopi hitam murni. Kadang, untuk sedikit menambah dimensi rasa, saya mencampurnya dengan sedikit gula aren. Namun, pada dasarnya, yang saya cari adalah rasa pahit alami yang kuat dan aroma khas dari biji kopi asli. Saya mencoba menghindari kopi instan dengan campuran yang terlalu banyak, meski saya menyebut tulisan ini terkait "kopi sachet lokal", ini lebih merujuk pada hitungan biaya, bukan produknya.

Lantas, mengapa kopi begitu melekat? Jawabannya terletak jauh di masa lalu, saat saya masih anak-anak. Minum kopi bagi saya memiliki sejarah yang kuat dan sangat pribadi. Ini bukan tentang gaya hidup atau tren anak muda, ini adalah tentang ikhtiar dan kesembuhan.

Saya ingat betul, saat saya masih duduk di kelas 1 Sekolah Dasar, saya memiliki penyakit yang cukup mengkhawatirkan: step atau kejang-kejang. Penyakit ini membuat saya sering sakit dan rentan. Orang tua saya tentu mencari berbagai cara untuk penyembuhan.

Salah satu ikhtiar yang dilakukan oleh orang tua saya adalah dengan memberikan saya air kopi hitam asli. Rutin, hampir setiap hari, saya diberi secangkir kecil kopi hitam murni. Logikanya, yang saya tahu saat itu, kopi hitam asli dianggap bisa membantu menghangatkan badan dan menjaga stamina.

Entah kebetulan, entah karena memang ada efeknya, atau mungkin ini adalah pertolongan Tuhan melalui jalan kopi, yang jelas, dengan ikhtiar tersebut, penyakit step saya perlahan sembuh. Alhamdulillah. Sakit kejang-kejang yang saya alami waktu kecil itu akhirnya hilang, dan saya sehat hingga sekarang. Kisah ini benar-benar membuat kopi memiliki makna yang berbeda bagi saya.

Kebiasaan minum kopi hitam itu pun berlanjut secara alami. Semenjak remaja, intensitasnya sempat agak jarang karena kesibukan dan pergaulan. Namun, kini, di usia dewasa, minum kopi benar-benar menjadi hobi yang tak terhindarkan. Kisah masa kecil itu selalu hadir dalam setiap seduhan.

Dari Gunung Manglayang Hingga Tanggamus: Mencari Kopi Murni Lokal Terbaik

Setelah masa lalu yang kuat itu, kini fokus saya beralih pada kualitas. Saya benar-benar mencari kopi murni lokal terbaik, dan sebisa mungkin menghindari produk yang disebut "kopi sachet lokal" dalam artian instan dengan banyak pengawet atau campuran. Saya mencari kopi yang digiling dari biji aslinya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline