Ini bukan cerita tentang anak durhaka. Ini adalah kisah yang dialami banyak orang, di mana hubungan cinta kasih antara orang tua dan anak perlahan bergeser menjadi hubungan yang transaksional.
Sebuah dilema yang menguras hati, apakah setiap kiriman uang adalah bentuk bakti anak, ataukah sebenarnya sebuah tuntutan tak terucap yang dibalut rasa sayang? Kita hidup di zaman di mana anak-anak dituntut menjadi "sapi perah" orang tua, bukan karena mereka ingin, tapi karena terpaksa.
Fenomena ini bukan lagi rahasia, tapi kenyataan pahit yang dialami banyak keluarga modern. Pertanyaan utamanya sederhana, tapi jawabannya rumit, apakah ini benar-benar cinta atau hanya soal cicilan yang harus dibayar?
Fenomena ini sering kali dimulai dengan hal-hal kecil. Awalnya, orang tua meminta bantuan finansial untuk kebutuhan mendesak, seperti biaya pengobatan atau perbaikan rumah. Anak dengan senang hati membantu, merasa bangga bisa membalas budi.
Namun, seiring waktu, permintaan itu berubah. Dari kebutuhan mendesak, menjadi kebutuhan rutin. Dari biaya pengobatan, menjadi biaya gaya hidup. Anak-anak yang baru saja lulus dan memulai karier, tiba-tiba dihadapkan pada tanggung jawab finansial yang berat, yang seharusnya bukan menjadi beban mereka.
Banyak anak merasa terperangkap. Di satu sisi, mereka merasa wajib berbakti. Mereka ingin melihat orang tua hidup nyaman. Di sisi lain, mereka juga memiliki impian dan kebutuhan sendiri. Mereka ingin menabung untuk masa depan, membeli rumah, atau bahkan menikah.
Namun, setiap kali mereka berhasil mengumpulkan sedikit uang, ada saja permintaan dari orang tua yang membuat tabungan itu kembali nol. Akhirnya, mereka bekerja keras bukan untuk diri sendiri, melainkan untuk memenuhi ekspektasi dan gengsi orang tua.
Tekanan Finansial yang Tidak Terlihat
Tekanan ini sering kali tidak diutarakan secara langsung. Orang tua tidak pernah bilang, "Kamu harus kirim uang sekian." Sebaliknya, mereka menggunakan bahasa emosional yang sulit ditolak. Misalnya, mereka akan bercerita tentang kesulitan yang sedang dialami, atau membanding-bandingkan dengan anak lain yang lebih sukses.
Kalimat seperti, "Lihat itu anak tetangga, sudah bisa belikan mobil untuk orang tuanya," atau "Dulu Bapak sama Ibu banting tulang sekolahin kamu, masa sekarang kamu enggak mau bantu?" menjadi senjata ampuh yang membuat anak merasa bersalah.
Anak yang mendengar kalimat-kalimat ini akan merasa tertekan secara psikologis. Mereka merasa tidak berdaya, terpojok, dan sulit menolak. Apalagi jika mereka dibesarkan dalam budaya yang menjunjung tinggi bakti anak, di mana menolak permintaan orang tua dianggap sebagai dosa besar.