Lihat ke Halaman Asli

Juan Manullang

Penulis Lepas

Salahkah Diskusi CLS UGM Yogyakarta?

Diperbarui: 2 Juni 2020   08:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: Kompas.com

Diskusi Constitusional Law Society (CLS) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) bertajuk "Persoalan Pemecatan Presiden di tengah Pandemi Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan" yang kemudian berganti judul menjadi "Meluruskan Persoalan Pemberhentian Presiden Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan" hangat diperbincangkan di ruang publik.

Beragam media online membahas tentang itu. Ada pula ancaman dari oknum tertentu kepada narasumber dalam diskusi tersebut hingga pada akhirnya diskusi dibatalkan.

Hal ini menjadi perbincangan hangat dan sampai oknum yang mengancam dilaporkan kepada pihak berwajib.

Dalam hal ini, penulis ingin sedikit memberikan pendapat mengenai polemik diskusi tersebut karena dinilai ancaman itu sebagai sebuah pembungkaman hak berpendapat, berdiskusi dan berekspresi masyarakat. 

Ya, tentu namanya ancaman di tengah diskusi yang akan diselenggarakan adalah bagian dari pelanggaran hak berpendapat dan berekspresi warganegara. Padahal sudah jelas dalam Pasal 28 Jo 28E UUD 1945 memberi hak seluas-luasnya masyarakat untuk berdiskusi, berpendapat dan berekspresi.

Bagi penulis, diskusi tidaklah salah. Baik itu bertema mengenai persoalan pemecatan Presiden di tengah Pandemi ditinjau dari sistem ketatanegaraan sebagaimana tajuk diskusi di UGM tersebut.

Tidak ada yang salah bila setiap orang berdiskusi, berpendapat dan berekspresi. 

Yang salah ketika dalam diskusi termaktub perencanaan jahat untuk melakukan aksi dalam pemecatan Presiden tersebut. Itu yang salah.

Ketika diskusi tersebut dicampur dengan niat untuk turun ke lapangan memohon pemecatan Presiden di tengah Pandemi, maka sangat layak siapa saja yang terlibat untuk ditindak secara hukum.

Dapat dijatuhi pasal upaya makar sesuai yang tertera dalam Undang-undang yang berlaku yaitu KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana).

Seorang Presiden dapat dipecat atau dimohonkan pemecatannya atau dilengserkan jika memenuhi aspek atau syarat yang dimaksud dalam Pasal 7A UUD 1945, yakni apabila terbukti melakukan tindak pidana pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, perbuatan tercela dan tindak pidana berat lainnya maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau wakil Presiden.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline