Lihat ke Halaman Asli

Zahrotul Mujahidah

TERVERIFIKASI

Jika ada orang yang merasa baik, biarlah aku merasa menjadi manusia yang sebaliknya, agar aku tak terlena dan bisa mawas diri atas keburukanku

Selipkan Nilai Karakter dalam Tulisan

Diperbarui: 15 Agustus 2019   15:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kolase screenshot DM. Dokpri

Siang ini saya diDM oleh salah satu pengguna google, saya sebut mbak X saja. Tiba-tiba yang bersangkutan menanyakan salah satu tulisan yang saya sendiri agak lupa isinya apa. 

Yang jelas,tulisan saya masuk kategori cerpen. Karena saya lupa, maka saya baca ulang isi cerpen itu. Cerpen yang ditanyakan oleh mbak X tadi berjudul Mitos Lusan Tak Terbukti di Pernikahan Kami. Saya tulis sekitar empat bulan yang lalu.

Cerpen itu bukan cerpen yang bagus. Tak ada keterangan sebagai tulisan Pilihan Editor. Kalau sudah seperti itu, saya pasti jarang menyentuh tulisannya. Kurang berkualitas soalnya. 

Akan tetapi saya agak terkejut juga ketika mbak X tadi terinspirasi dari cerpen itu. Mbak X memperoleh cerpen itu lewat browsing di internet. 

Kisah mbak X hampir sama dengan kisah di cerpen saya. Cerpen itu mengisahkan pernikahan antara seorang perempuan dan lelaki dari Jawa. Si perempuan adalah anak pertama dan si lelaki anak ketiga. Dalam pandangan orang Jawa, pernikahan seperti itu disebut Lusan. Pernikahan antara anak ketelu (ketiga) dan sepisan (Anak pertama/ sulung). 

Dalam cerpen itu saya kisahkan bahwa mitos Lusan yang bisa menyebabkan hal buruk atau kesialan pada kedua keluarga, sama sekali tak terbukti. Semua yang terjadi bukan karena pernikahan lusan. Tapi atas kehendak Yang Maha Kuasa.

Ternyata cerpen yang saya nilai tak bagus, bisa memberikan inspirasi bagi orang lain. Mbak X tadi sempat bercerita bahwa dia sempat parno juga. Gara- gara di jagat twitter sedang viral membahas tentang pernikahan lusan itu.

Kalau boleh saya cerita, cerpen itu sebenarnya berangkat dari kisah saya sendiri. Suami adalah anak pertama, sedang saya ---menurut akta kelahiran--adalah anak ketiga. Akan tetapi kalau nyatanya saya anak keempat, karena kakak pertama meninggal sewaktu bayi. Orangtua tak sempat membuat surat kenal lahir.

Setelah itu lahirlah kakak berikutnya, yang akhirnya mendapat surat kenal lahir ---kemudian akta kelahiran juga--- sebagai anak pertama. Disusul kakak ketiga ---dalam akta menjadi anak kedua), barulah terlahir saya ---dalam akta sebagai anak ketiga--- dan dua saudara kembar saya ---anak keempat dan kelima.

Dahulu sebelum menikah, calon suami ---sekarang suami saya--- sempat bertanya perihal saya anak keberapa di keluarga. Usut punya usut keluarganya yang mempertanyakan. Pernikahan lusan itu tak boleh.

Saya juga tak terlalu paham dengan mitos seperti itu. Karena pada prinsipnya menikah itu karena memang jodoh. Begitu juga dengan nasib sial, terjadi bukan karena mitos, tapi atas kehendak Allah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline