Lihat ke Halaman Asli

Jepe Jepe

TERVERIFIKASI

kothak kathik gathuk

[Ekon]Antara Obat Cina, Kesadaran Jokowi dan Upah Pekerja

Diperbarui: 19 September 2015   11:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(sumber utama grafik: www.xe.com)

Bank Sentral Tiongkok sekitar sebulan yang lalu membuat keputusan moneter yang cukup drastis dan tidak diduga. Tepatnya pada tanggal 11 agustus 2015 pemerintah Tiongkok mendevaluasi mata uang negara mereka yaitu renminbi dari sekitar 6,11 menjadi 6,22 per 1 US dollar atau devaluasi sebesar 1,9% dalam waktu semalam!

Salah satu penyebab utama pemerintah Tiongkok mendevaluasi mata uangnya sendiri adalah turunnya angka pertumbuhan ekspor Tiongkok secara keseluruhan selama paling kurang 5 tahun terakhir. Pertumbuhan ekspor Tiongkok anjlok dari sebesar 30% per tahun pada tahun 2011 menjadi sekitar 0% atau malah negatif sepanjang tahun 2015.

Bagaimana agar mengakali ekspor agar kembali naik?

Pemerintah Tiongkok berpegang pada “obat Cina” ini: menurunkan mata uang negeri sendiri agar harga komoditas ekspor jadi murah dan dengan demikian mendongkrak kembali angka penjualan ke luar negeri.

Contoh kasarnya jika awalnya uang sebesar 500 ribu US dollar bisa membeli 1000 unit motor Made in People Republic of China, maka setelah devaluasi renminbi sebesar hampir 2% seperti yang terjadi maka dengan jumlah uang yang sama bisa dibeli 1018 unit motor.

“Obat Cina” dan Ekonomi Berbasis Ekspor

Sejak membuka diri secara ekonomi di akhir tahun70-an, Tiongkok menyadari pentingnya perdagangan internasional. Deng Xiaoping secara jelas mendukung asing untuk investasi di negara Tiongkok, memanfaatkan murahnya sumber daya alam dan manusia di negra tersebut. Dengan didukung berbagai kebijakan investasi modal dan pengembangan teknologi, hal ini membuat Tiongkok menjadi negara dengan perekonomian berbasis ekspor.

Menurut World Bank Cross Country Data, rasio ekspor Tiongkok dari keseluruhan produksi domestik bruto (GDP) mereka naik pesat dari hanya sekitar 5% di akhir tahun 70-an sampai mencapai di atas 35% di tahun 2006. Menurut Observatory of Economic Complexity (MIT), 5 produk utama ekspor Tiongkok adalah hasil-hasil fabrikasi yaitu: komputer (9,9%), peralatan penyiaran (5,2%), telefon (4,3%), onderdil alat-alat perkantoran (2,2%) dan onderdil komponen elektronik seperti IC (2%).

Di saat yang sama rasio konsumsi rumah tangga di Tiongkok justru turun dari sekitar 50% di akhir tahun 70-an menjadi mendekati 40% di awal abad ke-21.

Terdorong pertumbuhan ekspor yang besar ini, di tahun 90-an dengan angka pertumbuhan GDP per tahun yang seringkali melebihi 25%, Cina menjadi negara dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi di dunia.

Jelas bahwa ekonomi Tiongkok adalah ekonomi berbasis ekspor. Harga barang-barang hasil fabrikasi yang murah adalah kunci bagi Tiongkok agar daya saing produk mereka di luar negeri tetap tinggi. Meminum “obat Cina” devaluasi renminbi mungkin adalah solusi.

Kesadaran Jokowi tantangan untuk tetap manusiawi

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline