Lihat ke Halaman Asli

John Lobo

Pegiat Literasi dan Penggagas Gerakan Katakan dengan Buku

Reba Deru dan Upaya Melestarikan Nilai Kepercayaan

Diperbarui: 22 Oktober 2021   20:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sa'o Gebhawea. Dok. Pribadi

John Lobo

Sejarah reba Deru tak bisa dipisahkan dari nilai sebuah kepercayaan.Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga makna kepercayaan yang bertemali dengan reba Deru adalah ; orang yang dipercaya atau diserahi sesuatu (2001:856).Sedangkan menurut Lau dan Lee (1999) kepercayaan adalah  suatu kesediaan (willingness) seseorang bertujuan kepasrahan dirinya terhadap pihak lain dengan resiko tertentu.

Misalnya kepercayaan terhadap sebuah merek,terjadi dari pengalaman masa lalu yang telah dilewatinya serta interaksi sebelumnya (Garbarino dan Johnson,1999). Anderson dan Narus dalam Aydin dan Ozer (2005) secara fokus menekankan bahwasannya trust dapat terjadi pada saat suatu kelompok percaya bahwa tindakan kelompok lainnya akan memberikan hasil terbaik bagi dirinya. Demikian juga proses pewarisan tradisi Reba Deru dari Mori Wesi kepada teke Wesu.

Pemilik asli reba deru atau yang dikenal dengan sebutan mori wesu adalah Gale Ga'e dan Ngao Ngedo yang berasal dari Sa'o Sini Dewa nua Woe Bu'u. Saat ini kampung tersebut berada di Gedhadhao. Sedangkan pewaris yang bertugas untuk menjaga dan melestarikan Reba disebut Teke Wesu.

Kala itu Woe Bu'u sedang terlibat dalam perang saudara.Tatkala berkosentrasi untuk memenangkan peperangan ada banyak tradisi yang dimiliki akhirnya tidak bisa dilaksanakan dengan baik. Sangat sulit bagi masyarakat suku Bu'u untuk berkumpul menjalankan ajaran dan tradisinya.

Salah satu aktivitas yang sering dihindari oleh Gale Ga'e dan Ngao Ngedo adalah berkumpul di dalam rumah terutama rumah adat. Hal tersebut dilakukan untuk menghindari kepungan dari musuhnya.Dalam bahasa daerah dikenal dengan ungkapan muku bui tolo zala (bakar pisang sepanjang jalan).Artinya memasak makanan sekalipun seperti bakar pisang dll untuk menambah energi tidak bisa dilakukan di rumah adat atau tempat yang nyaman, hanya bisa dilakukan sepanjang perjalanan jika ada waku untuk rehat sejenak.

Sa'o Patola/Dok. Pribadi

Oleh karena tidak memiliki waktu untuk menjalankan tradisi reba, Gale Ga'e nee Ngao Ngedo melakukan pertemuan dengan Paji nee Tado dari sa'o Gebhawea dan Patola . Kata Gale Gae dan Ngao Ngedo "  Jou Paji nee Tado, hae kami we tii Su"a bhoko nee bere kedhi, miu we pera riwu go adha zala kita isi deru na". Nama Deru pada masa dulu merujuk pada keseluruhan komunitas masyarakat yang bermukim di nua Deru yakni sebuah Kampung di atas pegunungan yang diapiti oleh tiga pegunungan yaitu di bagian Barat, Timur dan Timur Tenggara. 

Bagian Barat di apiti oleh wolo Deru yang membentang sampai ke laut Sawu. Bagian Timur diapiti oleh wolo Bhetomesina sedangkan di bagian Timur Tenggara diapiti oleh wolo Fai. Di bagian utara kampung Deru terdapat sebuah jurang yang sangat dalam. Sementara di bagian Selatan terbentang dataran rendah yang di penghujungnya terdapat bentangan laut Sawu. 

Deru merupakan kampung yang sangat strategis karena terletak di dataran tinggi, yang darinya orang bisa melihat perkampungan-perkampungan lainnya di wilayah Jerebuu termasuk pemandangan gunung Inerie. Secara umum tanah di Deru berbatu-batu namun sangat cocok untuk menanami berbagai jenis tanaman baik yang berumur pendek maupun berumur panjang .

Pertemuan antara Gale Ga'e dan Ngao ngedo dengan Paji dan Tado adalah perjumpaan syarat dengan makna karena selain memberi kepercayaan untuk menjalankan ritus Reba deru juga menyerahkan Ngia Ngora atau lahan(kebun) di Pomawio dan Tana Li ( Bejo) sebagai pengikat dan penguat, kepada Paji nee Tado atau Teke Wesu yang telah mendukung Pa'i bani ne pala waja.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline