Lihat ke Halaman Asli

Johan Japardi

Penerjemah, epikur, saintis, pemerhati bahasa, poliglot, pengelana, dsb.

Memasuk-akalkan Makna "Puak Labu"

Diperbarui: 24 April 2021   10:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Buah Puak, diadaptasi dari: Dangau Inspirasi Lubai.
Buah Labu, diadaptasi dari: Manfaat Labu Kuning yang Sangat Berguna untuk Kesehatan.

Dari Catatan Harian 24 November 2020
Sebelum saya mulai, saya ingin memberitahukan bahwa di dalam artikel ini terdapat "sedikit" bahasa khas Tanjungbalai,* kampung kebanggaan saya. Saya ingin mencapai 2 tujuan sekaligus dalam 1 artikel ini, yakni menjangkau para pembaca yang tidak familiar dengan bahasa Tanjungbalai dan tidak mengurangi keindahan bahasa aslinya, yang hanya bisa diapresiasi oleh orang-orang yang berasal Tanjungbalai (teman-teman saya sekampung). Jalan keluar yang saya tempuh adalah mengikutsertakan kalimat asli berbahasa Tanjungbalai dalam bentuk gambar JPG.

*Tanjungbalai Asahan, bedakan dengan Tanjungbalai Karimun. Saya lebih suka menempatkan tanda catatan kaki langsung di bawah kalimat yang relevan agar pembaca tidak usah scroll ke bawah.

Baiklah!
Seperti halnya hewan, tumbuhan (termasuk buahan-buahan) banyak yang dijadikan bagian peribahasa kita, antara lain: "Bagaikan buah simalakama, dimakan ayah mati, tak dimakan ibu mati."

Orang Melayu, termasuk Tanjungbalai, punya pendekatan yang lebih manusiawi dalam membuat peribahasa serupa, tanpa harus melibatkan pilihan "mati," yakni:

dokpri

 "Buah kedekak, buah kedekik. Dimakan ayah pekak, tak dimakan ibu bertungkik."

Pekak, asal tidak permanen, dan tungkik, adalah kondisi yang masih bisa disembuhkan.

Bagaimana pula dengan istilah "puak labu" yang akrab di telinga orang Melayu Asahan, antara lain Tanjungbalai dan Tinggi Raja, dan ber-evolusi menjadi "wak labu" di Batu Bara melalui proses penyingkatan bunyi "puak" menjadi "uak" menjadi "wak"? Saya amati, mungkin hanya istilah "katik" (artinya "tidak ada") atau bentuk hiperkorektifnya, "ndak katik" di Palembang yang bisa mengimbangi kekerapan penggunaan "puak labu" di Tanjungbalai (entah kalau melebihi).

Jika penggunaan kata "puak" merujuk ke KBBI dengan beberapa definisi terkait kelompok orang atau suku, tampaknya istilah "puak labu" kurang masuk akal, yang satu orang dan satu lagi buah.

Sudah sejak lama logika saya merayu untuk mencari keberlindanan kedua kata ini. Ihwal ini sempat tidak saya ambil serius sampai kemarin, ketika saya meng-Google kata "puak," salah satu definisi yang muncul adalah sebagai nama buah, dengan banyak istilah menurut daerah-daerah di Indonesia, salah satunya "buah menteng."

Ini bagaikan sebuah momen Eureka! bagi saya, dan saya pun mencoba menerapkan urutan berpikir ilmiah, yakni OHET (Observasi-Hipotesis- Eksperimen-Teori) untuk istilah puak labu ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline