Lihat ke Halaman Asli

Jilal Mardhani

TERVERIFIKASI

Pemerhati

Kapitalisme Negara dan "Nominee" Pemegang Saham

Diperbarui: 13 September 2018   12:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Capitalism, Foundation for Economic Education|https://steemit.com

"Di Indonesia yang lebih dominan adalah BUMN. Hampir semua sektor didominasi BUMN/BUMD: listrik, gas, air bersih, pertambangan, minyak mentah, kilang minyak, perbankan, asuransi, konstruksi, bandara, pelabuhan, kereta api, jalan tol, pompa bensin, pupuk, dan konstruksi | BUMN juga cukup besar di beberapa jenis usaha seperti garam, semen, baja, semen, gula, perkebunan, penangkapan ikan, maskapai penerbangan, angkutan laut, dan angkutan darat | Tak ketinggalan, negara ikut merambah bisnis perhotelan, perdagangan, properti, konsultan bisnis, sekuritas, pusat perbelanjaan, industri kaca, industri perkapalan, dan banyak lagi" - Faisal Basri 

Sepintas, simpulan tersebut melegakan. Indonesia ternyata tak dikuasai asing atau aseng. Demikianlah fakta yang terungkap dari data (UNCTAD, World Investment Report Database) yang dikutip Faisal Basri dalam artikelnya "Apakah Benar Perekonomian Indonesia Dikuasai Asing?".

Tapi ada kalimat penutup yang menarik pada tulisan Dosen Senior pada Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia tersebut : 

"Indonesia lambat laun mengarah ke  kapitalisme negara."

+++

Ketika negara menguasai kegiatan usaha --- apalagi pada sektor-sektor stategis yang terkait hajat hidup orang banyak --- sepatutnya kita berharap hal tersebut mendatangkan kebaikan. 

Terhadap kepentingan rakyat luas, penguasaan tersebut berpeluang untuk menegakkan keadilan sosial. Intervensi pemerintah selaku "nominee" (lembaga sah yang mewakili kepemilikan) Negara pada usaha tersebut, sangat dimungkinkan. Sebab dia tak sepenuhnya harus tunduk pada hukum pasar. Kemampuan masyarakat luas selaku konsumen akan menjadi pertimbangan penting dan utama agar manfaatnya dapat dinikmati bersama.

Contohnya Pertamina. 

Negara melalui Pemerintah yang berkuasa melakukan kebijakan "satu harga" dari Sabang hingga Marauke. Subsidi silang yang sesungguhnya menggerus potensi laba perusahaan, dapat diikhlaskan sekaligus ditegaskan pelaksanaannya. Atas nama keadilan sosial. 

Hukum pasar yang sejatinya tak mengenal kata subsidi, boleh diabaikan. Sebab secara bisnis, penjualan premium di Wamena pada harga eceran yang sama dengan di Jakarta, tak mungkin dilakukan. Dengan kata lain, penjualan bensin di Papua yang menggunakan harga yang sama dengan Bandung memang pasti merugikan Pertamina. 

Jika ditelisik lebih rinci, di masa yang lalu, "nominee" badan usaha milik Negara itu kemungkinan besar memang mengabaikan sebagian pemilik sejati perusahaan yang tinggal di wilayah terpencil. Kebutuhan melayani masyarakat di sana yang tercermin dari biaya logistik dan distribusi, kelihatannya memang tak dimasukkan dalam perhitungan harga jual. Sebab, biaya tersebut sejatinya bervariasi. Bergantung pada letak geografis masing-masing konsumen. Jadi, laba bersih per satuan penjualan di masing-masing wilayah pasar, pasti bervariasi. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline