Lihat ke Halaman Asli

YEREMIAS JENA

TERVERIFIKASI

ut est scribere

Hidup Sederhana

Diperbarui: 20 Agustus 2019   16:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Diogenes dari Sinope atau Si Sinis yang menggantungkan hidupnya pada pemberian kebaikan hati orang lain. Sumber gambar: https://greekerthanthegreeks.com

Alkisah, Diogenes dari Sinope, sang filsuf dari Yunani Kuno, sedang duduk di pinggir jalan. Ketika sedang menikmati semangkok bubur, lewatlah seorang sahabat masa kecilnya. Sang teman yang tampak mengenakan pakaian mahal itu mengendarai seekor kuda putih.

Sambil mengarahkan pandangannya keDiogenes, Si Sahabat itu berujar, "Hey Diogenes. Jika saja kamu belajarmenyanjung raja, kamu tidak harus mengonsumsi bubur seperti itu."

Mendengar ucapan Sang Teman, Diogenesmenjawab, "Oh.... kamu keliru. Andai saja kamu belajar mengonsumsi bubur, pastilah kamu sadar untuk tidak menyanjung raja."

Kutipan dialog ini bisa jadibersifat rekaan. Tetapi tokoh yang dirujuk, yakni Diogenes atau tepatnya Diogenes Sinope (412-323 SM) bukanlah tokoh rekaan. Diogenes yang dijuluki sebagai "Si Sinis" itu hidup di era Raja Alexander Agung (356-323 SM), setidaknya keduanya meninggal dunia pada tahun yang sama. 

Keduanya sering digambarkan sebagai saling mengenal dan bersahabat. Hanya saja, jika AlexanderAgung hidup dalam kemewahan, Diogenes justru hidup dalam kemiskinan --atau mungkinlebih tepat kemelaratan.

Diogenes adalah sosok yang menolakk ekayaan (wealth), pujian (honor) dan hormat (respect). Bahkan ketika Alexander Agung bersedia memberikan atau menghadiahkan dia dengan benda/barang tertentu sebagai penopang hidup, Diogenes tegas menolaknya.

Kita Diingatkan 

Dalam konteks semacam iniah kita bisa mengerti kutipan dialog di atas. Sang sahabat itu tampak setengah mengolok dan setengah bercanda. Dia sepertinya merasa kasihan pada cara hidup Diogenes yang sederhana secara ekstrem itu. 

Memang benar, Diogenes sungguh hidup dalam kekurangan. Kontras memang, karena ketika banyak orang lebih menyukai hidup dalam kemewahan dan kenyamanan, Diogenes justru memilih jalan kemiskinan.

Kutipan percakapan itu setidaknya menawarkan kepada kita tiga hal menarik. Pertama, kita kadang menyangka orang yang hidup miskin --karena penampilan eksternal dan pakaian yang mereka pakai-- adalah pribadi "melarat" yang perlu dikasihani, dibantu, dan dientaskan.

Padahal bisa jadi anggapan kita itu keliru. Kita lupa bahwa ada orang tertentu yang terpaksa menjalani hidup dalam kemiskinan dan merasa menderita karenanya. Tetapi adaorang yang memang memilih untuk hidup sederhana dan miskin.

Kedua, kita diingatkan soal motivasi dan pilihan hidup. Menjadi kaya dan hidup dalam kelimpahan hanya karena ingin membuat orang terkesan atau supaya dipermuliakan bukanlah motivasi hidup yang baik. Dan itu tampak dilakukan oleh sahabatnya Diogenes dalam percakapan di atas.

Dia menjadi kaya dan hidup berkecukupan hanya karena ingin membuat orang lain memujinya. Dia telah menuai pujian dan rasa hormat. Dia menonjolkan simboldan status sosial tinggi ketika tampil glamor, keren, dan mewah.

Ketiga, soal bagaimana menjadi kaya. Ada orang yang menjadi kaya karena menjilat, dekat dengan kekuasaan,bahkan --dalam bahasa sahabatnya Diogenes-- menyanjung dan menyenangkan hati penguasa. Kekayaan yang diperoleh secara tidak wajar hanya akan bertahan seumur jagung. Dia juga tidak pantas untuk dibanggakan atau diwartakan.

Ini persis berbeda dengan hidup sederhana yang ditampakkan Diogenes. Hidup dalam kesederhanaan tetapi dihayatinya dalam sukacita karena sikap hatinya yang lepas bebas.

Diogenes hidup tidak "ngoyo". Dia tidak berlaku seolah-olah kaya. Dia hidup apa adanya,sama sekali tidak ada rasa benci pada keadaan hidupnya; tidak ada rasa iri pada keadaan orang lain. Diogenes justru mensyukuri apa yang dipunyainya dan setia menjalani kesederhanaan hidupnya hari lepas hari.

Dialog itu mengundang kita untuk merefleksikan pilihan dan gaya hidup kita sehari-hari. Di titik ini saya teringat kata-kata Sang Guru Agung yang mengingatkan kita untuk berhati-hati dengan harta dan kekayaan yang kita miliki,"karena di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada."

Saatnya kita memurnikan motivasi hidup kita! 

Semanggi, 20/08/2019




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline