Lihat ke Halaman Asli

Jamal Passalowongi

Pegiat Literasi Kab. Barru/Guru SMAN 6 Barru

Kompetensi dan Koneksi dalam Dilema Profesionalisme

Diperbarui: 6 Oktober 2025   14:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber: chatGPT

Di atas kertas, dunia kerja dan birokrasi kita menjunjung meritokrasi-setiap orang dihargai berdasarkan kemampuan, kerja keras, dan integritas. Namun di lapangan, kenyataan sering berbalik arah. Yang naik bukan yang paling layak, tapi yang paling dekat. Kompetensi perlahan kehilangan makna ketika koneksi menjadi tiket instan menuju kekuasaan.

Kita hidup di negeri yang masih sibuk menilai siapa yang dikenal, bukan apa yang dikerjakan. Banyak posisi penting diisi bukan karena prestasi, tapi karena kedekatan personal atau politik. Loyalitas lebih dihargai daripada kecakapan. Hasilnya? Orang berkompeten tersingkir, sementara penjilat naik pangkat. Di ruang publik, kita melihat orang-orang yang fasih berbasa-basi menggantikan mereka yang fasih bekerja.

Fenomena ini menciptakan budaya profesional yang timpang. Mereka yang punya kemampuan sering patah arang karena tak diakui. Sementara mereka yang bermodal koneksi menjelma jadi simbol keberhasilan palsu-pintar memanfaatkan jaringan, tapi miskin kontribusi nyata. Akibatnya, sistem pun membusuk dari dalam. Keputusan penting diambil bukan berdasarkan nalar, melainkan kedekatan. Jabatan berubah jadi hadiah politik, bukan tanggung jawab moral.

Namun, menyalahkan koneksi semata juga keliru. Jaringan sosial bukan musuh, selama dibangun atas dasar profesionalisme dan kepercayaan. Dunia modern memang menuntut kita pandai berelasi, tapi bukan dengan menjilat atau menipu. Koneksi yang sehat justru memperluas peluang kolaborasi dan mempercepat pertukaran gagasan. Masalahnya muncul ketika koneksi dijadikan alat manipulasi---ketika pertemanan lebih berharga dari kompetensi.

Kita butuh keseimbangan baru. Kompetensi harus menjadi fondasi, dan koneksi harus berfungsi sebagai jembatan, bukan tangga curang. Mereka yang berkompeten harus berani tampil, membangun jejaring tanpa mengorbankan integritas. Jika tidak, ruang publik akan terus dikuasai oleh mereka yang "terlihat bisa", bukan yang "benar-benar bisa".

Selama sistem masih memberi panggung bagi kedekatan daripada kecakapan, kita tidak sedang bergerak maju. Kita hanya berputar dalam lingkaran ketidakobjektifan yang mematikan talenta. Dan selama itu pula, negeri ini akan terus kehilangan orang-orang terbaiknya---bukan karena mereka gagal, tetapi karena mereka tidak cukup dekat dengan kekuasaan

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline