Lihat ke Halaman Asli

Ita Siregar

Pengarang. Pemetik cerita. Tinggal di Balige.

Naftali [15]

Diperbarui: 12 Oktober 2022   09:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Jakarta. 1987. 

Adalah masa kecil bersama yang indah. Bersekolah di tempat sama meski kelas berbeda. Ulinda dua tahun lebih tua dari Meldiva, tiga tahun dari yang lain. Naftali lahir lima bulan lebih dulu dari April. Hanya Naftali yang sejak kecil tinggal bersama Nana. Sementara bagi yang lain rumah Nana adalah tempat liburan akhir pekan, di kamar Naftali.  

Minggu pagi, Sofie Moran, nana mereka, akan mengajak ke Gereja Sumber Kasih Kemang. Ibadah pukul sembilan pagi. Mereka duduk berjejer di bangku panjang di samping Nana atau Andrea Moran, dada mereka, bila dia tidak sedang bepergian. Berempat mereka akan duduk tegak, saling menahan diri tak saling melihat atau berbicara. Namun, selalu ada bahan untuk didiskusikan saat itu juga, tidak bisa menunggu. Cara pendeta berkotbah yang berlebihan. Hentak tangan pianis yang tiba-tiba. Suara sumbang yang lahir dari barisan jemaat. Kesalahan itu terasa lucu dan harus dirayakan dengan sebuah tawa. Satu bahu akan berguncang pelan, tiba-tiba semua tahu apa yang sedang ditertawakan, begitu saja. Empat bahu kecil berguncangan. Leher ditekuk sedalam-dalamnya, memandangi lantai agar siluet tubuh sesama mereka tak tampak dari ekor mata. Nana yang selalu menghormati ibadah tak pernah tahu ada kegiatan tandingan dalam ibadah pagi itu. Setelah selesai, mereka masih membahasnya, tak pernah bosan.   

Orangtua mereka tidak ke gereja kecuali Paskah, Natal, pembaptisan bayi, atau pernikahan anggota keluarga. Bahkan keluarga besar akan menyanyi bersama dengan empat suara. Nana memastikan semua terlibat dan menentukan lagu yang akan dinyanyikan dan warna pakaian yang akan dipakai. Vinna pianis. Kalau sedang tak ngambek, Vito akan main selo. 

Andrea Moran dilahirkan sebagai konglomerat Moran generasi ketiga yang terkenal di negeri ini. Keluarga besar ini terhormat, sopan, dan tak terlalu suka diekspos media. Mereka dilahirkan kaya-raya dan tak memerlukan apa pun untuk menambah kejayaan mereka selain hidup normal. Andrea Moran dan dua saudara laki-laki beserta ipar-iparnya, mempunyai kemiripan dalam hal tradisi melakukan kebaikan kepada orang-orang di sekeliling mereka. Sopir, pembantu rumah tangga, petugas sekuriti rumah, tukang kebun, tukang ledeng, dan segala tukang yang mengurus urusan domestik rumah tangga mereka, selalu itu-itu saja wajahnya. Mereka pun saling kenal. Kebaikan tuan mereka menulari orang-orang kecil ini menjadi orang jujur dan bekerja dengan tenang karena kesejahteraan mereka terjamin. Mereka berada di sekitar keluarga besar ini, menjadi penopang dan berdiri di depan siap membantu tiap waktu. Orang baik senantiasa akan berpasangan dengan orang baik lainnya. 

Andrea Moran menetapkan silaturahmi keluarga tiap hari Minggu ketiga. Ia sulung dari tiga bersaudara, dituakan para sepupu dan keluarga Sofie Moran. Sekitar lima puluh anggota keluarga berkumpul di rumahnya hari itu. Saat itulah keluarga-keluarga memperkenalkan anggota yang baru dilahirkan atau calon istri atau calon suami. Karena Sofie Moran anak tunggal, tidak banyak keluarganya hadir. Berita-berita baru tentang keluarga diketahui hari itu, langsung dari sumber pertama. 

Tiap bulan ada saja yang berulang tahun. Tart spesial ala Hotel Rosewood tak pernah absen di rumah yang bersangkutan. Sofie Moran akan mengunjungi keluarga itu, membawa hadiah dan makanan. Ulinda bagian yang rajin mengundang Pendeta Sahetapy atau Pendeta Sebastian atau Pendeta Siregar untuk berkhotbah di tengah keluarga. Supaya diberkati Tuhan, katanya. Meski bukan orang yang taat beragama, keluarga ini sangat menghormati pendeta dan simbol-simbol agama lain, mengajari anak-anak yang masih kecil untuk melakukan hal yang sama. Sebelum pendeta pulang, anak-anak akan diarahkan untuk bersalaman dengan pendeta.    

Pemandangan minggu ketiga tiap bulan itu kira-kira seperti ini: Mobil-mobil berdatangan sejak pagi. Anak-anak kecil berpiyama. Kadang-kadang orangtua hanya mengantar, baru kembali tengah hari pada saat makan siang. Anak-anak yang lebih besar saling janjian nonton film favorit di televisi, berenang, atau bersepeda di halaman belakang. Para remaja yang mulai suka menyendiri, tak mau diganggu kebodohan sepupu atau saudara mereka yang masih kecil, duduk membaca dekat sungai kecil di bukit belakang, menonton anjing-anjing dimandikan, memeriksa pohon alpukat dan mangga, meneruskan tidur, menonton Dada latihan memukul bola golf, dan berlari mengambil bola-bola yang melenting jauh. Para lelaki dewasa minum kopi, membaca koran, berdiskusi apa saja. Ibu-ibu muda akan merasa itulah hari santai mereka, karena anak-anak mereka akan diawasi semua orang. Tukang urut diimpor dari Rumah Yoga untuk melayani mereka. Sebagian di dapur ikut Sofie Moran mengurus makan siang. 

Hari itu rumah besar itu menjadi sesak dipenuhi suara, tawa, teriakan orang dewasa, tangisan anak-anak, lengkingan bayi-bayi, denting piano, volume televisi yang keras, dan perebutan remote control di ruang teater.

Rumah besar itu dikelilingi lahan satu hektar yang seluruhnya dimanfaatkan. Tempat parkir untuk lima puluh mobil. Rumah-gedung berlantai dua itu mempunyai sepuluh kamar tidur ukuran besar yang memuat dua tempat tidur lebar. Delapan orang bisa tidur sekaligus di sana. Di dalamnya tersedia kamar mandi yang bisa dipakai empat orang sekaligus. Perlu seminggu untuk memahami lika-liku rumah agar tak salah masuk kamar. Jarak dengan tetangga terdekat, jauh. Dibatasi tembok kebun cemara di sebelah barat utara selatan dan kamera pengintai yang jarang diperhatikan.    

Sofie Moran adalah manajer rumah. Dia bekerja di dapur dengan para asisten untuk mengatur hidangan. Dia memiliki tenaga besar untuk memperhatikan kebutuhan anggota keluarga, mencatat hari ulang tahun, tanggal-tanggal penting, seperti menempati rumah baru, wisuda, merayakan gigi tumbuh, tujuh bulanan, mengingat kado pesanan, membuatkan masakan khusus, memberikan sumbangan. Sofie Moran berbakat alam menjadi istri dan ibu dan nana banyak orang tanpa belajar dari siapa pun. Ibunya meninggal saat ia berusia empat tahun dan sejak itu ia tinggal bersama nananya. Dunia ini diberkati dengan tangan-tangan yang murah hati seperti Nana yang membuat hidup menjadi mudah.     

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline