Lihat ke Halaman Asli

Amy Istiqlala

A cup of tea

Penyalahgunaan Penyiaran Televisi dalam Siaran Sinetron di Indonesia

Diperbarui: 3 Mei 2020   18:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Televisi adalah suatu media penyiaran yang menyebarkan siarannya dalam bentuk audio dan video secara bersamaan. Stasiun televisi terbagi ke dalam beberapa jenis yaitu stasiun televisi komersial dan stasiun televisi non komersial, stasiun televisi publik, lokal dan nasional, dilihat dari cakupannya. Dengan kesempurnaan teknologi media, televisi mampu menjadi media penyiaran yang paling diminati dan digunakan oleh masyarakat luas pada masa sebelum adanya internet dibanding dengan media lainnya seperti radio, majalah, koran, dan media lainnya. Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa televisi pada saat ini merupakan salah satu sarana media yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Karena dari televisi, orang atau masyarakat mendapatkan sebagian dari kebutuhan hidupnya yaitu informasi, hiburan, pengetahuan, dan lain sebagainya.

Bagi stasiun televisi atau rumah produksi tentunya memiliki etika dalam menayangkan siarannya, karena setiap masyarakat mengenal tentang nilai dan norma etis yang berlaku pada lingkungannya (Junaedi, 2019 : 8). Seperti halnya media yang lain, televisi turut memberikan berbagai efek bagi penontonnya, apapun bentuknya. Dapat berupa efek baik atau buruk sekalipun walaupun dasarnya televisi merupakan sebuah sarana hiburan. 

Tontonan televisi sempat menjadi hal yang mengkhawatirkan bagi anak-anak di Amerika. Pada tahun 1950-an, beberapa penonton berusia anak-anak mengalami patah tulang karena terjun dari atap garasi rumah mereka karena mengimitasi aksi Superman yang mereka tonton dari televisi (Straubhaar, LaRose, dan Davenport dalam Putri : 2019, 107). Setelah membaca dan mendengarkan, manusia juga melakukan penglihatan kepada lingkungan sekitarnya. 

Menyaksikan acara kebudayaan dan pesta-pesta bangsawan merupakan hal yang menarik pada zaman dahulu, sampai akhirnya mulai memasuki era perfilman di awal abad 20 yang dimulai oleh industri Hollywood, manusia seakan candu dengan kegiatan melihat dan menyaksikannya yang menjelma menjadi kegiatan menonton yang terdengar sangat monoton. Tanpa pembelajaran. Inilah yang kemudian membuat budaya penyerapan informasi atau wawasan yang buruk (Anggoro : 2015)

Dewasa ini, undang-undang penyiaran serta Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS) sepertinya sudah tidak lagi menjadi etika yang dihormati sebagai poin-poin penting dalam mengatur sebuah penayangan atau penyiaran program di stasiun televisi. Indonesia kini mencapai titik dimana edukasi itu penting, namun rating adalah yang utama. Salah satunya yang terjadi pada penayangan sinetron di beberapa stasiun televisi khususnya stasiun televisi swasta. 

Di beberapa penayangannya, terdapat banyak kekerasan, penghinaan, rasisme, dan hal-hal lain yang melanggar undang-undang seperti yang sudah dirumuskan pada UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran pada Pasal 36 ayat 5 yang mengatakan bahwa isi siaran dilarang bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan dan/atau bohong, menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalah-gunaan narkotika dan obat terlarang; atau mempertentangkan suku, agama, ras, dan antargolongan. 

Walaupun maksud dari tim produksi sinetron tersebut ingin mengembangkan cerita, tetapi alangkah baiknya menyampaikan sesuatu yang menyimpang dengan penyiaran yang baik, tanpa memberikan kesan kebencian yang akan berdampak setelah diterima penonton.

Sebagian di antara penonton mengandalkan televisi sebagai media hiburan dan pengisi waktu luang. Mereka juga terkadang menonton hanya untuk sekadar menemani waktu bersantai yang tidak memerlukan fokus dan berpikir mendalam. Bahkan, beberapa penonton juga menganggap bahwa konten televisi masih menarik perhatian mereka, salah satunya program sinetron (Putri : 2019). Penulis menganalisis dan memonitor beberapa siaran sinetron yang melanggar pasal undang-undang dan P3SPS. 

Pertama adalah tayangan sinetron yang tayang di salah satu stasiun televisi swasta pada Jumat, 13 Maret 2020 pukul 18.00 WIB---yang mana itu adalah waktu prime time untuk anak-anak menonton televisi. Terdapat adegan pelecehan terhadap tokoh perempuan. Adegan tersebut jelas memperlihatkan bahwa seseorang melecehkan perempuan dengan sengaja dan dengan niat jahat. 

Hal ini menyalahi UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran pasal 36 ayat 6 yang mengatakan bahwa isi siaran dilarang memperolokkan, merendahkan, melecehkan dan/atau mengabaikan nilai-nilai agama, martabat manusia Indonesia, atau merusak hubungan internasional. Adegan pelecehan ini juga dapat menyalahi P3SPS dalam pasal 16 yang mengatakan bahwa lembaga penyiaran wajib tunduk pada ketentuan pelarangan dan/atau pembatasan program siaran bermuatan seksual. 

Pelanggaran lain terjadi dalam tayangan sinetron yang menceritakan tentang hubungan anak dan orang tua tirinya. Sinetron ini tayang di stasiun televisi yang sama pada 17 Feburari 2020 pukul 16.30 WIB. Pada adegan ini diceritakan sebuah komunitas berkumpul dengan komunitas lainnya, kemudian melakukan adegan kekerasan dengan bentuk tawuran. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline