Lihat ke Halaman Asli

Isson Khairul

TERVERIFIKASI

Journalist | Video Journalist | Content Creator | Content Research | Corporate Communication | Media Monitoring

Loper Koran Masih Ada, Menjaja Kata di Antara Debu Kota

Diperbarui: 19 Agustus 2019   03:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Loper koran ini saya temukan di Malang, Jawa Timur. Menurutnya, pelanggan media cetak masih ada, meski jumlahnya tidak sebanyak dulu. Dengan sepeda, loper ini menjajakan media cetak tiap hari. Ia berkeliling di pusat kota Malang dengan penuh semangat, meski ia tahu penerbit media cetak sudah memasuki senjakala. Foto: isson khairul

Loper koran itu istimewa. Setidaknya bagi saya, generasi jadul yang mengenal mesin tik, sebelum move on ke komputer dan smartphone. Dulu, mereka adalah ujung tombak media cetak, dari penerbit ke pembaca. Kini, sesekali mereka masih terlihat, menyelinap di antara debu kota.    

Ketika Loper Dimanjakan 

Ya, mereka masih ada. Senjakala tak serta-merta membuat mereka tiada. Gutenberg masih dikenang dan dicatat. Orang masih membaca Shakespeare di kertas yang menguning. 

Apakah kita terlalu cepat berpaling dari kertas? Entahlah. Seingat saya, tahun 2010 adalah tahun terakhir penerbit media memanjakan para loper koran. Sebelumnya, tiap tahun, para penerbit media selalu bikin event spesial untuk para loper.

Kenapa? Karena loper adalah ujung tombak yang mengantarkan media ke pembaca. Dengan berjalan kaki, naik sepeda, atau pakai motor, mereka menyusuri jalanan. Masuk dari komplek perumahan yang satu ke komplek perumahan yang lain. Melintasi lorong dan gang di berbagai kota. Naik-turun kendaraan umum. Mereka berpeluh, kadangkala basah oleh gerimis.

Para loper menggantungkan hidup dari berjualan media. Para penerbit media menggantungkan hidup dari para loper. Tanpa mereka, media tak kan sampai ke tangan pembaca. Model hubungan penerbit-loper itulah yang membuat para penerbit media selalu bikin event spesial untuk para loper. Setidaknya, setahun sekali.

Untuk apa? Sebagai ucapan terima kasih penerbit kepada loper. Sebagai penyemangat, agar loper makin giat jualan media. Dan, di tahun 2010 itu, tepatnya pada Sabtu (10/07/2010), penerbit Kompas Gramedia memanjakan loper, dengan mengajak mereka jalan-jalan ke Dunia Fantasi, Ancol, Jakarta Utara. Sebanyak 11.500 peserta, yang berasal dari 408 agen media di Jabodetabek, tumpah ruah di area Dunia Fantasi (Dufan). Mereka bersuka-ria.

Dari 11.500 peserta tersebut, 10.592 adalah loper dan pengecer yang sehari-hari menjajakan Harian Kompas di wilayah perumahan, perkantoran, dan di jalanan Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi (Jabodetabek). Demikian banyak jumlah para loper tersebut. Itu baru sebagian dari loper yang ada di Jabodetabek. Alangkah banyaknya, jika dijumlahkan dari 34 provinsi di Indonesia.

Dan, alangkah banyaknya saudara kita yang menggantungkan hidup mereka dari berjualan media. Kemudian, zaman berubah. Berjuta tangan di mana-mana menggenggam smartphone. Berjuta informasi melalui berjuta link, menyerbu mereka. Bahkan tanpa mereka cari. Tanpa mereka beli. 

Akibatnya, kebutuhan akan media cetak, surut. Sejumlah penerbit media cetak menjadi senjakala. Banyak yang sudah menutup usaha. Para loper pun banyak yang tak lagi berjualan media.

Loper ini saya temukan di Solo, Jawa Tengah. Ia turun-naik angkutan umum menjajakan media cetak. Katanya, meski jumlah pembeli menurun, tapi penghasilannya sebagai loper cukuplah untuk menghidupi keluarganya. Ia tetap semangat jualan, karena memang itulah pekerjaannya. Foto: isson khairul

Penggerak Ekonomi Rakyat             

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline