Lihat ke Halaman Asli

Isnaini Khomarudin

editor lepas dan bloger penuh waktu

Menimbang Pemaafan sebagai Puncak Kasih Sayang

Diperbarui: 13 Mei 2021   22:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sarang lebah yang rumit tapi indah, menunjukkan mutu binatang yang sangat berjasa. (Foto: dok. pri)

Ketika menaksir tingkat kesulitan antara meminta maaf dan memaafkan, saya selalu tergoda menimbangnya dengan analogi kehilangan. Ada dua peristiwa yang membuat saya berpikir demikian. Dua hal ini sepintas memang tak berhubungan, tapi punya esensi yang menurut saya mirip: mengandung pilihan yang berat.

Seorang teman, sebut saja Imelda, mengeluhkan kondisi rumah tangganya yang tak kunjung diwarnai kehadiran momongan. Secara ekonomi Imelda dan suaminya sangat berkecukupan, bahkan boleh dibilang berlebih. Hanya saja ketiadaan keturunan membuat hidup mereka terasa hambar, apalagi ketika melihat kehidupan orang lain atau kolega yang seolah ideal dengan harta cukup dan gelak tawa anak-anak.

Semula ada, lalu hilang

Alih-alih menjawab, saya lantas menuturkan sepenggal cerita tentang teman ibu saya di kampung. Sebut saja Bu Priani. Layaknya warga kampung, hidupnya biasa saja, malah cenderung pas-pasan. Namun bukan itu yang membuatnya kurang, melainkan ketiadaan momongan. Setelah belasan tahun menanti, akhirnya Allah mengirimkan seorang putri cantik untuk menghiasi keluarganya.

Tak hanya cantik dan pintar, anak ini juga sangat sayang pada orangtuanya. Sampai saat ia duduk di bangku SMP, Tuhan berkehendak lain. Leukimia merenggut nyawanya yang meninggalkan luka mendalam bagi Bu Priani dan suami. Mereka lalu mengadopsi keponakannya sebagai anak walau mereka sadar anak ini tak sesayang putri kandung yang telah tiada.

Belum sempat Imelda merespons, saya sajikan fragmen lain yang tak kalah pedih. Seorang pegawai asuransi yang cukup sukses secara finansial mendadak kehilangan indera penglihat setelah mengalami kecelakaan hebat. Mobilnya rusak parah dan cacat fisik membuatnya tak berdaya. Ia pun sempat menggugat Tuhan kenapa harus mengalami derita seberat itu dan kadang berharap mati saja.

Baik Bu Priani dan pegawai asuransi dirundung nestapa tiada terperi. Semula mereka memiliki hal yang menggembirakan lalu kegembiraan itu sirna di luar dugaan. 

Bu Priani semua hidup bahagia bersama putri manisnya lalu hidup terkoyak ketika sang putri pergi selamanya karena leukimia. Pegawai asuransi kehilangan kepercayaan diri dan bahkan semangat hidup setelah fungsi kedua matanya dicabut padahal itu sangat diandalkannya. 

Kepada Imelda saya tanyakan, "Manakah yang lebih berat: tidak memiliki sesuatu sejak awal ataukah kehilangan sesuatu yang pernah dicecap kenikmatannya?"

Anda bisa menduga, baik Imelda ataupun saya sama-sama tak mampu pertanyaan itu. Sama seperti ketika saya harus menentukan manakah langkah yang lebih berat: meminta maaf ataukah memaafkan? 

Meminta maaf kadang takut dimaknai sebagai turunnya gengsi atau harga diri sedangkan memaafkan kadang khawatir dianggap terlalu gampangan atau tak punya pedoman sehingga berpotensi terulangnya kesalahan. Dua-duanya jelas sama berat.

Kisah lebah dan tupai

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline