Lihat ke Halaman Asli

Propaganda di Ranah Kesehatan (Studi tentang Sesat Informasi)

Diperbarui: 13 Agustus 2021   11:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Pandemi coronavirus hingga saat ini merupakan problematic yang tak kunjung usai. Berbagai upaya sudah dilakukan pemerintah guna menekan angka penderita. Langkah-langkah tersebut seperti penerapan 3M, vaksinasi, pelarangan mudik,dll. Strategi desimenasi atau penyebarluasan informasi menjadi focus utama pemerintah. Upaya melakukan pencegahan pun tidak hanya dilakukan melalui luar jaringan, namun keterlibatan penggunaan media mempunyai peranan yang signifikan.

Penggunaan media sendiri dijadikan tempat alternatif guna mengkonstruksi pesan perihal bahayanya terpapar coronavirus. Penyebar luasan informasi melaui beberapa platform seperti Instagram, Youtube, Twitter,dll. Dari beberapa platform tersebut hubungan dengan riset yang telah dilakukan oleh Wearesocial Hootsuite hingga Oktober 2020 Instagram telah memiliki 1.158jt pengguna aktif (Hootsuite, 2020). Suervei juga dilakukan oleh Lembaga penelitian Piper Jaffray menunjukan hasil bahwa remaja di Amerika Serikat 33% yang berusia 13-19 tahun condong lebih menggunakan instgram dibanding dengan platform lainnya (Seetharaman, 2015), sedangkan untuk di Indonesia sendiri para pengguna Instagram didomonasi oleh usia 18-24 tahun yaitu sebanyak 59% (Yusra, 2016). Dari penelitian diatas menunjukan bahwa penggunaan media sebagai tempat mencari suatu informasi sangat diminati.

Dari konsumsi dan proses diseminasi melalui media digital justru berbanding terbalik dengan fungsinya yaitu untuk memberikan suatu informasi. Dewasa ini media digital justru menjadi salah satu tempat untuk melakukan bentuk propaganda. Menurut James E. Combs dan Dan Nimmo (1994) propaganda merupakan suatu usaha yang disengaja dan sistematis guna mendapat interaksi yang lebih intens lagi yang kemudian menjadi cita-cita yang akan dicapai oleh yang membuat propaganda. Propaganda yang masih dalam perbincangan yaitu tentang lahirnya pandemic coronavirus. Lahirnya pandemic tersebut pada awalnya dimaknai perang dagang antara China dan Amerika. Coronavirus muncul beriringan dengan sedang terjadinya perang dagang, maka dari itu beberapa masyarakat memaknai lahirnya coronavirus kerena perang dagang. Propaganda yang dilakukan mengarah kepada negara yang notabene merupakan tempat pertama kali munculnua wabah ini. Propaganda tersebut.

Tidak hanya bentuk-bentuk propaganda saja melainkan sesat informasi yang mempunyai kaitannya dengan coronavirus informasinya kemudian mengudara di internet. Sesat informasi yang beredar masyarakat seolah-olah di brainwash oleh beberapa media digital perihal adanya coronavirus. Negara Indonesia sendiri menggapai coronavirus bisa dikatakan lambat. Dikutip dari tirto.id Coronavirus masuk ke Indonesia pada tanggal 2 Maret 2020 terdapat 2 WNI yang terpapar. Setelah coronavirus masuk ke Indonesia banyak sekali media digital yang menggoreng berita tentang terjadinya wabah corona. Dari penggorengan berita tersebut opini dari media, pemerintah, dan masyarakat tidak sejalan. Kita bisa lihat fenomena yang dialami oleh Saudara I Gede Aris Astina alias Jerinx SID. Saudara Jerinx didakwa menyebarkan sesat informasi berupa statement yang dia kontruksi melalui akun instgramnya yaitu "IDI kacung WHO". Dari statement tersebut menggiring saudara Jerinx masuk kedalam dinginnya horel prodeo.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline