Lihat ke Halaman Asli

Irwan Rinaldi Sikumbang

TERVERIFIKASI

Freelancer

Warung Rumahan, Wajib Pisahkan Kas Warung dan Kas Pribadi

Diperbarui: 8 Januari 2021   08:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Geliat perekonomian toko kelontong di kota Pekalongan. (Dok. Shutterstock/Maharani Afifah)

Dulu, ketika saya masih sekolah di dekade 1970-an, saya cukup mengenal aktivitas warung rumahan. Soalnya, setelah pulang sekolah, saya bertugas menjaga warung yang berada di bagian depan rumah orangtua saya.

Barang yang dijual adalah aneka makanan kecil, kebanyakan berupa cemilan tradisional karena biskuit masih belum begitu banyak beredar. Selain itu, juga ada rokok, minyak tanah, telur ayam, kayu bakar, sabun cuci, sabun mandi, dan sebagainya.

Warung tersebut merupakan bisnis ibu saya, sedangkan ayah saya sendiri berjualan sepatu dan sandal di sebuah kios di pasar kota Payakumbuh, Sumbar. Tapi, jangan membayangkan bisnis ibu saya tersebut sebagai hal yang menguntungkan. Kenyataannya, sering barang habis tapi uangnya tidak ada, sehingga ayah terpaksa memberi modal lagi untuk belanja barang.

Hanya, kalau disebut merugi, juga kurang tepat. Lalu uang hasil penjualan tersebut lari ke mana? Ya, sering diambil ibu saya untuk berbagai keperluan kecil. Saya sendiri sambil menjaga warung, sering makan kerupuk yang seharusnya untuk dijual.

Satu hal lagi, yang juga menyebabkan uang hasil penjualan tidak terlihat, karena para tetangga yang membeli, minta agar dicatat dulu sebagai utang. Kenyataannya, sebagian utang bersifat abadi, dalam arti setelah dibayar, mereka ngutang lagi, begitu seterusnya.

Takut merusak hubungan antar tetangga, bahkan ada yang terhitung kerabat sendiri, menyebabkan ibu saya tidak berani menagih utang dengan cara keras. Akhirnya ya diikhlaskan begitu saja.

Baik, dalam tulisan kali ini, saya tidak membahas soal budaya utang piutang antar tetangga yang memang susah diatasi, tapi lebih membahas pentingnya pemisahan kas pribadi dengan kas warung, bagi siapapun yang punya bisnis warung rumahan.

Dengan demikian, akan terlihat seperti apa kemajuan bisnis tersebut dan tidak perlu mengingat-ingat kemana larinya uang hasil penjualan. Tapi, yang namanya kebutuhan bagi pemilik untuk mengambil uang, jelas tak bisa ditawar-tawar.

Untuk itu, pemilik harus berani menetapkan berapa "gaji"-nya dari pengelolaan warung tersebut. Agar tidak mengganggu arus kas warung, sebaiknya tetapkan gaji mingguan, contohnya Rp 500.000 per minggu.

Maka, jika pemilik perlu uang, harus diambil dari kas pribadi. Kalau kas pribadi habis, padahal belum saatnya gajian, "ngutang" dulu ke kas warung dan nantinya harus dibayar. 

Bahkan, bila pemilik mengambil barang, katakanlah mengambil sebungkus mi instan, ya harus bayar dari kas pribadi. Kembali ke cerita masa kecil saya, seharusnya saya tidak bisa seenaknya makan kerupuk sambil menjaga warung.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline