Lihat ke Halaman Asli

Irwan Rinaldi Sikumbang

TERVERIFIKASI

Freelancer

Mengenal Metode Beriklan: ATL, BTL, TTL, dan Iklan Tersamar

Diperbarui: 30 Oktober 2020   08:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dok. goukm.id

Mengambil keputusan tidak selalu mudah meskipun untuk hal yang rutin dilakukan sehari-hari. Contohnya, di sebuah keluarga yang sering memesan makanan untuk makan siang atau malam, sekadar memutuskan mau makan apa, bisa makan waktu lama. 

Hal itu terjadi bila masing-masing anggota keluarga tidak punya ide, dan hanya bilang terserah kepada anggota keluarga lainnya. Sebetulnya masing-masing anggota keluarga sudah punya apa yang disebut dengan top of mind (selanjutnya ditulis dengan TOM saja, biar gampang). Maka, mereka bilang terserah, maksudnya agar orang lain yang memilihkan, agar ada variasi dalam jenis makanan yang disantapnya.

Namun, karena semua tak punya ide, ya akhirnya yang dipesan itu-itu lagi, sesuai dengan TOM itu tadi. Contoh TOM itu, bila mereka ingin makan ayam goreng, otomatis langsung ingat gerai waralaba tertentu. Seolah-olah telah terpatri pada alam bawah sadar seseorang. Padahal ada banyak restoran yang terkenal dengan menu ayam gorengnya.

Produk yang berhasil menjadi TOM tersebut tentu karena berbagai faktor. Terlepas dari produk yang bermutu (dalam hal makanan berarti yang lebih enak rasanya), pelayanan yang baik, gampang dijangkau karena gerainya tersebar, sebetulnya ada faktor lain yang tak kalah penting, yakni karena keefektifan promosinya.

Tak heran, untuk mengejar TOM, sebuah perusahaan berani menggelontorkan dana yang besar. Bisa jadi, dari total harga pokok sebuah produk, biaya yang dikeluarkan untuk promosi sama besarnya dengan biaya memproses bahan baku menjadi produk yang siap untuk dijual. 

Sebagai misal, untuk produk obat-obatan yang dijual bebas, justru komponen iklan menjadi penyumbang biaya yang relatif besar. Jadi, bila konsumen membeli sekotak obat berisi 30 butir kapsul berharga Rp 100.000, sebetulnya Rp 50.000 di antaranya untuk penggantian biaya iklan yang dilakukan produsen.

Masalahnya, akibat persaingan bisnis yang makin ketat, tak terelakkan lagi, pada beberapa produk sejenis dengan spesifikasi yang mirip, terjadi perang iklan. Maka, pertanyaannya, iklan yang seperti apa yang lebih efektif?

Pertanyaan itu penting bagi pelaku usaha, mengingat ada kecenderungan masyarakat sendiri mulai bosan melihat iklan, karena saking banyaknya iklan bersliweran. Bukankah sudah begitu banyak brosur yang dibagikan petugas dari sebuah perusahaan yang oleh si penerima langsung dibuang ke tong sampah sebelum dibaca?

Begitu pula iklan yang dikirim langsung melalui email, pesan singkat, atau bentuk lain yang sejenis. Sekarang hal ini sudah pada tahap menjengkelkan, sehingga tanpa dibacapun, iklan seperti itu langsung dihapus.

Telepon dari nomor tidak dikenal ikut-ikutan menjadi korban. Soalnya, banyak orang yang malas menerima telpon dari nomor tak dikenal karena sudah berburuk sangka, pasti si penelpon menawarkan sesuatu, misalnya dari sales asuransi, kartu kredit, dan sebagainya.

Kemudian coba dipikirkan, siapa yang masih setia membaca media cetak? Sudah jarang bukan? Lalu iklan pun banyak beralih ke media daring, yang terkadang bikin kesal pembacanya, karena terasa mengganggu. Yang diklik beritanya, tapi yang muncul malah iklan. Demikian pula beriklan di televisi, sudah banyak yang tak peduli, karena masyarakat mulai beralih menonton video streaming di media sosial.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline