Di era digital saat ini, anak muda tidak hanya berubah dalam cara mereka berkomunikasi, tetapi juga dalam cara mereka membentuk identitas dan menjalani hidup. Nongkrong di coffee shop, memotret kopi latte art, memposting foto "aesthetic" di Instagram, hingga membuat konten reels dengan backsound viral semua ini menjadi bagian dari gaya hidup baru yang tengah menjamur di kalangan urban youth atau generasi muda perkotaan.
Apa yang terlihat sederhana seperti minum kopi, sebenarnya menyimpan makna sosial yang kompleks. Kebiasaan ini mencerminkan perubahan sosial yang lebih besar, di mana teknologi, media sosial, dan budaya populer membentuk ulang cara anak muda melihat diri mereka sendiri dan orang lain.
Dari Nongkrong Jadi Gaya Hidup
Dulu, warung kopi atau angkringan adalah tempat berkumpul warga untuk ngobrol santai, berbagi cerita, atau bahkan membahas politik kampung. Kini, coffee shop modern lebih dari sekadar tempat untuk minum kopi. Ia telah menjadi simbol gaya hidup urban. Anak muda datang ke sana tidak hanya untuk ngobrol, tapi juga untuk bekerja dengan laptop, meeting, atau sekadar mengambil foto untuk diposting di Instagram.
Tidak jarang kita menemukan seseorang memesan kopi seharga Rp 30 ribu, lalu sibuk memotret dari berbagai sudut, mengatur pencahayaan, dan memilih filter yang tepat untuk mengunggahnya ke media sosial. Kegiatan ini menunjukkan bahwa pengalaman minum kopi telah bergeser dari kebutuhan fungsional menjadi bagian dari pencitraan diri.
Instagram dan Budaya Pamer Visual
Instagram, sebagai media sosial berbasis visual, berperan besar dalam membentuk gaya hidup ini. Unggahan tentang makanan, minuman, tempat wisata, hingga outfit of the day (OOTD), menjadi cara baru anak muda menyampaikan siapa mereka. Semakin aesthetic, semakin tinggi kemungkinan mendapat likes, komentar, dan validasi sosial.
Inilah yang disebut oleh sosiolog Jean Baudrillard sebagai simulakra dan hiperrealitas di mana yang ditampilkan di media bukan lagi realitas sebenarnya, tetapi versi yang "dibuat-buat" agar tampak sempurna. Nongkrong tidak lagi hanya tentang ngobrol, tapi tentang mendapatkan foto yang layak tampil di feed. Kehidupan offline disusun agar terlihat menarik di online.
Konsumerisme Gaya Baru
Fenomena ini juga memperlihatkan konsumerisme gaya baru, di mana membeli bukan lagi soal kebutuhan, tetapi soal tampil. Anak muda kini rela menyisihkan uang untuk ngopi di tempat hits, membeli outfit yang cocok untuk difoto, atau traveling ke tempat-tempat viral demi konten.
Konsumerisme ini berbeda dari generasi sebelumnya. Dulu, orang membeli barang karena kualitas atau fungsinya. Sekarang, nilai utama dari sebuah barang atau tempat sering kali justru ada pada bagaimana ia terlihat di layar. Ini mendorong munculnya istilah seperti "flexing", di mana seseorang menunjukkan kemewahan atau gaya hidupnya untuk mendapat pengakuan.
Perubahan Nilai Sosial
Perubahan gaya hidup ini juga membawa dampak terhadap nilai sosial masyarakat, terutama di kalangan generasi muda. Individualisme semakin menonjol, karena banyak anak muda lebih fokus membentuk citra diri di media sosial ketimbang membangun koneksi yang mendalam secara langsung. Hubungan sosial menjadi lebih dangkal dan cepat berganti.
Nilai kebersamaan, kesederhanaan, dan keterikatan sosial mulai tergeser oleh nilai-nilai seperti eksistensi, estetika, dan validasi digital. Dalam hal ini, perubahan sosial berlangsung bukan secara tiba-tiba, tapi melalui proses yang perlahan-lahan merubah cara berpikir dan bertindak masyarakat.
Dari Modernisasi ke Globalisasi
Apa yang terjadi pada anak muda ini tidak bisa dilepaskan dari proses modernisasi dan globalisasi. Modernisasi membawa perubahan struktur sosial melalui teknologi, pendidikan, dan ekonomi. Globalisasi mempercepat arus informasi dan budaya dari seluruh dunia, sehingga gaya hidup ala Barat dengan cepat menyebar ke kota-kota di Indonesia.