Lihat ke Halaman Asli

Intan M Lewiayu Vierke

Dosen Politeknik APP Jakarta, Doktor Manajemen Bisnis SB IPB

Srikandi Era Digital: Saat Ibu Melawan Algoritma Global

Diperbarui: 22 April 2025   10:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Parenting. Sumber ilustrasi: Freepik

Hari Kartini dan Wajah Baru Emansipasi

Peringatan Hari Kartini tidak hanya mengajak kita mampertegas perjuangan perempuan untuk meraih akses pendidikan, yang saat ini menghadapi tantangan kontemporer yang jauh lebih kompleks. Salah satu tantangan terbesar saat ini adalah bagaimana perempuan---terutama para ibu ---berperan sebagai benteng  bagi generasi muda dalam menghadapi serangan masif dari dunia digital.

Hari ini, anak-anak dan remaja tumbuh dalam dunia yang tidak lagi netral. Aplikasi-aplikasi digital yang mereka gunakan sehari-hari---dari media sosial, game online, hingga platform belanja---digerakkan oleh algoritma yang secara aktif mempelajari dan membentuk pola pikir serta perilaku mereka.

TikTok hanyalah salah satu contoh paling mencolok. Lebih dari sekadar hiburan, platform ini bekerja dengan algoritma canggih yang merespons emosi, kebiasaan, bahkan kelemahan pengguna untuk mengoptimalkan keterlibatan. Pola algoritmis seperti ini juga digunakan oleh banyak platform digital lainnya---dari media sosial hingga e-commerce---yang secara halus namun konsisten membentuk perilaku konsumsi, preferensi, dan bahkan cara pandang generasi muda. Dampaknya? Minat baca menurun, proses berpikir menjadi instan, dan banyak keputusan penting---termasuk pilihan gaya hidup atau nilai hidup---diambil hanya dari tayangan video satu menit. 

Dampak algoritma dalam kehidupan digital anak-anak tak berhenti di minat baca yang menurun atau keputusan yang diambil dari video satu menit. Lebih dari itu, mereka jadi mudah bosan dan kurang tahan terhadap proses panjang---semua ingin serba instan. Tekanan untuk mengikuti tren juga bikin anak kehilangan jati diri, merasa harus selalu tampil "seperti yang sedang viral." Belum lagi iklan terselubung yang masuk lewat konten, tanpa disadari memengaruhi apa yang mereka beli, tonton, bahkan percayai. Dan ketika validasi diri bergantung pada jumlah like atau komentar, rasa percaya diri pun jadi rapuh. Perlahan, fokus dan konsentrasi pun ikut tergerus---membaca satu halaman buku saja jadi terasa berat.

Srikandi Rumah Tangga: Aktor Strategis di Era Digital

Sebagai Srikandi dalam keluarga, ibu  memiliki peran strategis dalam membimbing anak-anak agar menjadi individu yang kritis dan bijak dalam menghadapi arus informasi dan teknologi. Dengan meningkatkan literasi digital dan ekonomi, para ibu dapat membantu anak-anak memahami dan menyikapi pengaruh globalisasi dengan lebih baik.

Peran ini tidak hanya sekadar membatasi waktu penggunaan gawai, tetapi juga mengarahkan dialog keluarga pada pertanyaan-pertanyaan reflektif: dari mana informasi ini datang, siapa yang diuntungkan, dan apakah nilai yang terkandung selaras dengan identitas kita sebagai bangsa?

Ibu bisa memulai dari diri sendiri dengan meningkatkan literasi digital, termasuk memahami bagaimana data pribadi diproses oleh aplikasi. Dalam keluarga, ibu dapat menciptakan kebiasaan diskusi terbuka tentang teknologi, dan saat anak ingin mengunduh aplikasi baru, ibu bisa mengajak mereka membaca terms & conditions bersama---mengenalkan bahwa persetujuan digital bukan sekadar formalitas, tetapi bentuk kesadaran akan hak dan risiko. Sikap kritis ini penting untuk ditanamkan sejak dini. Di lingkungan, ibu dapat menjadi inisiator ruang belajar bersama, berbagi pengetahuan tentang cara kerja platform digital dan bagaimana keluarga bisa tetap berdaulat di tengah gempuran algoritma global.

Kartini di Era Algoritma

Hari Kartini adalah momen yang tepat untuk menegaskan bahwa emansipasi hari ini bukan hanya soal ruang kerja dan representasi politik, tetapi tentang kuasa pengetahuan di ranah digital. Di era algoritma ini, jempol tak bisa lagi bertindak sendiri. Apa yang dulu hanya dianggap sebagai aktivitas spontan---scroll, klik, bagikan---kini harus dikawal oleh kesadaran penuh. Perilaku jempol dalam mengelola gawai harus bergeser ke otak: ke refleksi, ke logika, ke nilai. Sebab setiap sentuhan layar adalah keputusan---dan keputusan membentuk arah hidup. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline