Lihat ke Halaman Asli

Indra Charismiadji

Pemerhati dan Praktisi Pendidikan 4.0 yang peduli dengan Pembangunan SDM Unggul

Sistem Zonasi sebagai Bentuk Pengamalan Pancasila

Diperbarui: 18 Desember 2019   11:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sejak tahun 2017, saat sistem zonasi pertama kali diterapkan dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPBD), kebijakan tersebut selalu menuai kontroversi hingga hari ini.  Banyak pihak mulai dari siswa, orang tua, hingga pemerintah daerah merasa dirugikan dengan adanya aturan yang mendisrupsi cara menikmati fasilitas pendidikan formal yang diselenggarakan oleh pemerintah. 

Nilai Ujian Nasional (UN) tidak lagi menjadi syarat seleksi penerimaan siswa baru melainkan jarak tempat tinggal ke sekolah yang menjadi prasyarat utama. Protes keras dilontarkan oleh mereka yang merasa merasa memiliki nilai tinggi dan merasa berhak untuk bersekolah di sekolah yang selama ini dianggap unggulan / favorit.

Problematika Pendidikan Indonesia
Ada dua masalah besar yang melatarbelakangi diterbitkannya aturan zonasi ini:

Akses

Berdasarkan data BPS sejak tahun 2014, peningkatan Angka Partisipasi Murni (APM) yaitu proporsi anak sekolah pada satu kelompok usia tertentu yang bersekolah pada jenjang yang sesuai dengan kelompok usianya, untuk tingkat SD hanya 0,77 persen, untuk tingkat SMP hanya 0,87 persen, dan untuk tingkat SMA sederajat 0,92 persen saja. Jumlah yang sangat kecil (semua jenjang dibawah 1 persen) apabila dibandingkan dengan dana yang digelontorkan untuk program-program peningkatan akses pendidikan seperti Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan Kartu Indonesia Pintar (KIP).

Mutu

Pada pemetaan kualitas pendidikan tingkat internasional, Indonesia menempati sejumlah posisi buncit. Peringkat Indonesia pada Programme for International Student Assessment (PISA) berada di urutan 10 terbawah sejak tahun 2000. PISA mengukur tiga kemampuan yakni matematika, sains dan membaca bagi siswa yang berusia 15 tahun. Begitu juga untuk peringkat pada Trends in International Mathematics and Science Study (TIMS) menempati posisi 40 dari 42 negara. 

Pada pemetaan The Learning Curve Indonesia menempati posisi 40 dari 40 negara. Kalah jauh dibandingkan negara-negara tetangga kita. Laporan dari UNESCO menyebutkan hanya 1 dari 1.000 orang Indonesia yang memiliki minat baca serius yang berakibat tingkat literasi bangsa Indonesia menduduki peringkat 60 dari 61 negara menurut kajian dalam World's Most Literate Nations dari Central Connecticut State University.

Senada dengan kajian internasional, data yang terpampang dalam situs Pusat Penilaian Pendidikan (Puspendik) - Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) dari hasil Indonesian National Assessment Programme (INAP) menunjukkan bahwa hanya sedikit anak Indonesia yang menguasai mata pelajaran pada level baik yaitu matematika 2,29 persen, membaca 6,06 persen, dan sains 1,01 persen. Sementara dalam level penguasaan kurang, matematika 77,13 persen, membaca 44,83 dan sains 73,61 persen. Sisanya berada pada level cukup.

Kebijakan Zonasi sebagai Solusi

Albert Einstein pernah mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kegilaan adalah melakukan hal yang sama dan berulang-ulang tetapi mengharapkan hasil yang berbeda. Inilah yang menjadi dasar kebijakan zonasi diterbitkan. Sebuah perubahan dalam kebijakan pendidikan memang sangat diperlukan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline