Lihat ke Halaman Asli

Indra Agusta

hologram-Nya Tuhan

Butterfly-effect Pandemi, Silang-sengkarut Logika

Diperbarui: 21 Mei 2020   09:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Butterfly-effect Pandemi, Silang-sengkarut Logika| Dokumentasi pribadi

Pelonggaran PSBB terjadi dimana-mana, untuk menekan kematian industri transportasi dan geliat ekonomi selama puasa ramadhan, pemerintah melonggarkan pembatasan-pembatasan. 

Menjelang Idul Fitri ketakutan akan ledakan itu kian menjadi. Hashtag "terserah" dan "semau-maumu" menghiasi dinding media sosial. Seperti ketuban pecah geliat polarisasi kemudian terjadi.

Anak-anak muda yang sudah dua bulan lebih mendekam di rumah seperti mendapatkan tiupan angin segar. Warung, kedai, dan resto kembali ramai dengan ajakan berbuka puasa bersama. 

Jalanan menjadi riuh menawarkan banyak sensasi atas letupan keadaan, berpasang-pasang motor muda-mudi berlalu lalang. Sementara itu pasar juga tak kalah ramainya, ibu-ibu berbondong-bondong setiap sore tanpa pembatasan, tanpa jarak, memenuhi seluruh pasar bak semut.

Arus ini tidak mungkin terjadi begitu saja, segala kondisi sudah dipilih, diputuskan responnya dan pasti berakibat sedemikian rupa. Mulai dari tidak seriusnya pemerintah menanggapi isu, tidak dijaminnya kebutuhan sosial, PSBB kemudian pelonggaran. 

Mulai dari kampanye cuci tangan, masker sampai penyemprotan disinfektan di jalan raya. Yang terakhir ini munculnya isu "Herd Immunity" yang diharapkan akan memutus rantai penularan virus dengan memperbanyak yang terjangkit.

Namun berapa yang harus jadi tumbal, berapa pula yang akan memiliki antibodi? Sedangkan sampai hari ini belum ada rilis dari WHO soal adanya kemungkinan imunitas seseorang yang terjangkit.

Geliat bandara berjubel menanti tiket pesawat, nyaris tak bersekat. Petugas-petugas yang meronda kampung, petugas negara yang berada di titik pantau operasi terhadap pemudik luar pulau juga lengah tergoda oleh nikmatnya tak berjarak. 

Menawarkan kontra-balik dari masyarakat yang diatur. Masalah utamanya kan soal ing ngarso sung tuladha, bagaimana otoritas negara sampai otoritarian sipil desa yang sudah terbentuk harus menjadi ujung tombak memberi contoh antisipasi terhadap penularan wabah. Namun yang terjadi sebaliknya.

Soal data kita pun kisruh siapa lagi yang akan menjadi rujukan valid, selalu terjadi perbedaaan data, berapa angka yang mati, berapa angka yang tersebar, berapa yang sudah di rapid test, berapa yang sudah terjangkit gelombang kedua virus, yang terkena, dan kena lagi.

Semua elemen lalai, setiap wilayah selalu saja ada oknum-oknum yang menjadi abai, sementara sisanya terus menghakimi banyak persoalan menurut pendapat subjektifnya. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline