Lihat ke Halaman Asli

Pulang Larut Malam

Diperbarui: 22 Maret 2017   12:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Malam Berasap (dok.pribadi)

Beberapa waktu lalu terbaca kabar dari media, kelompok-kelompok sedang berebut menjadi pendamping desa. Perebutan itu begitu riuh. Satu kelompok mengkritik yang lain. Kelompok lain mengolok kelompok lainnya karena dianggap tidak memiliki pengalaman mendampingi desa. Kementerian Desa juga menjadi sasaran tembak, dianggapnya kementerian yang mengurusi tentang pendamping desa itu pilih kasih, menyalahi prosedur, menyalahi undang-undang.

Apakah betul begitu? Saya tidak tahu. Saya juga tidak tertarik mencari tahu. Kepada siapa saya harus bertanya agar tahu, saya juga tidak tahu. Mungkin juga wartawan yang menulis berita-berita itu juga tidak tahu. Kalau ada berita soal pendamping desa, yang melekat dalam pikiran saya hanya Sam Jack.

Sudah cukup lama saya tidak mendengar ledakan-ledakan pikirannya. Setiap pagi saya masih “upacara” baca koran. Saya membaca sampai tuntas, Jack tidak pernah kelihatan. Sekalipun hanya bayangannya saja.

Apa ia sudah menjadi pendamping desa sungguhan? Sehingga dia menjadi amat sibuk, sampai tak bertandang ke Djoglo? Mudah-mudahan begitu. Agar kalau dia bertandang dari desa ke desa punya dasar, memegang surat tugas. Lebih dari itu dia bisa mendapat imbalan dari jerih payahnya.

Gara-gara memikir Jack, sampai habis kopi segelas, koran pada pangkuan tidak kelar terbaca. Saat saya mulai meneruskan membaca, belum habis lead berita, saya mendengar pintu gerbang rumah Jack dibuka. Nah, itu dia si pengganggu pikiran.

Ia keluar masih memakai celana pendek, berkaos oblong cap Lombok, rambutnya awut-awutan, dan matanya masih merah. Pucat wajahnya menunjukkan dia kurang tidur.

“Pagi, Pak.” Sapanya.

Senyumnya tidak menunjukkan pancaran kegembiraan sama sekali. Seperti menanggung beban segunung. Tapi jangan salah, suaranya tidak menunjukkan keadaan fisiknya, masih meledak.

“Bagaimana Bapak tua. Masih pagi sudah melamun. Kayak mikir negara saja.” Ledeknya.

“Yang saya pikir lebih berat dari mikir negara, Jack.” Saya menggertak.

“Apa itu?” Ia melotot. Matanya seperti bola api merah yang akan meloncat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline