ADHD, Dopamin, dan Enam Bulan Api Kreativitas
Banyak orang terkejut ketika melihat tumpukan buku yang berhasil saya tulis dan terbitkan dalam waktu singkat. Mereka mengira saya "mesin tulis" yang tak kenal lelah. Faktanya, buku-buku itu bukan lahir dalam enam bulan. Itu adalah akumulasi bertahun-tahun tulisan yang tercecer di ponsel, komputer, bahkan kertas-kertas kecil yang nyaris terlupakan.
Bedanya, enam bulan terakhir hidup saya seperti "terbakar" penuh api kreativitas. Saya akhirnya punya keberanian, fokus, dan energi untuk menyusunnya. Apa pemicunya? Sebuah penemuan lama yang datang kembali: ADHD.
Saya sendiri didiagnosis disleksia dan ADHD sejak usia 9 tahun. Saat itu, sekolah menjadi medan tempur. Guru menganggap saya malas, teman mengejek saya bodoh, sementara orang tua bingung menghadapi anak yang tidak bisa diam dan sulit membaca.
Namun pengalaman seorang penulis luar negeri yang baru sadar dirinya ADHD di usia 49 tahun membuat saya merenung. Ia mengira mengalami gangguan serius, sampai akhirnya menemukan bahwa "otaknya hanya bekerja dengan cara yang berbeda."
Fenomena ini bukan hal langka. Data dari Centers for Disease Control and Prevention (CDC, 2023) menyebutkan bahwa sekitar 9,8% anak di Amerika Serikat didiagnosis ADHD. Di Indonesia, angka pastinya belum terdata jelas, namun Kementerian Kesehatan memperkirakan prevalensi ADHD anak berkisar 5--7%. Banyak yang lolos dari diagnosis hingga dewasa, hidup dalam kebingungan, bahkan merasa "rusak."
ADHD bukan hanya soal sulit fokus. Dr. Russell Barkley, pakar ADHD dari Amerika, menjelaskan bahwa inti ADHD ada pada fungsi eksekutif otak kemampuan merencanakan, mengatur, dan mengendalikan diri. Salah satu kunci biologisnya ada pada dopamin, zat kimia otak yang berperan dalam motivasi dan penghargaan.
Orang dengan ADHD cenderung memiliki kadar dopamin yang lebih rendah atau berfluktuasi. Itulah sebabnya kami sering kesulitan mengerjakan hal-hal rutin, tetapi bisa hiperfokus saat menemukan sesuatu yang menarik. Bagi saya, itu adalah menulis. Begitu "klik," saya bisa menulis berjam-jam tanpa henti, seakan otak saya terbakar energi.
Saya merasakannya sendiri: ketika akhirnya menerima kondisi ADHD dan disleksia saya, justru lahirlah kejelasan. Tiba-tiba, tulisan-tulisan lama yang berantakan bisa saya susun, edit, dan terbitkan.
Apakah mudah? Tidak. Masih ada hari-hari kacau, ketika pikiran melompat-lompat seperti bola liar. Namun, dengan kesadaran bahwa otak saya bekerja berbeda, saya belajar "berdamai" dengan pola pikir itu. Saya menggunakan strategi kecil menulis to-do list sederhana, membuat jadwal singkat, membagi pekerjaan besar menjadi potongan kecil.