Lihat ke Halaman Asli

Julak Ikhlas

Peminat Sejarah dan Fiksi

Tuan Mandor

Diperbarui: 6 Desember 2022   06:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: unsplash.com/@dinaabdelmonsef


1/
dan entah kali ke berapa ia menghitung
ulang setiap preminya
padahal malam begitu larut dan
tak banyak waktu untuk diselamatkan
sebelum pagi membawakan cuka bagi matanya

ia mulai merebahkan lelahnya
namun ia masih menatap langit-langit
ada suar mata yang meleleh dan
meneteskan kepedihan masa silam yang
ia pikul di pundak parubayanya

"Ah, aku akan berusaha lebih keras lagi."
lalu katanya menguap
pikirannya terbiar lelap

2/
di jalan pagi yang terlalu dini
ia menjadi kabut pertama yang
menggenggam ayat-ayat sunyi dan
butiran embun yang menyimpan resah di
setiap tadah doa-doanya

ada mimpi yang tak pernah tamat
sedang pagi telah menyuguhkan kenyataan

3/
ia menyukai tengah hari dan makan siang
sebab ia bisa menikmati peluh payahnya dalam
sebungkus nasi lengkap dengan lauk-pauk yang
telah dingin dan seadanya

dan di dalam termos kecil yang ia bawa
selalu ada kehangatan yang menjadi jeda dari
setiap langkah kaki yang memapah remah-remah asa

layaknya secangkir kopi
ia menerima segala pahit dan manisnya kehidupan

4/
di senja yang biasa di ujung hari
matahari seperti tergesa-gesa tenggelam dan
malam datang menggenggam sunyi
sedang ia menjadi kabut senja perkebunan yang
menghantarkan kumandang seruan-seruan tuhan

seperti senja
hidup baginya hanyalah masa peralihaan
dari keberangkatan menuju kepulangan
dari tempat singgah menuju rumah keabadian

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline