Lihat ke Halaman Asli

Iqbal Iftikar

Penulis Wannabe

"Udkhuluu Fii Ramadhaana Kaaffah"

Diperbarui: 15 Mei 2018   14:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi. Foto oleh Tropenmuseum, part of the National Museum of World Cultures (sumber: commons.wikimedia.org)

Sore ini, Kementerian Agama Republik Indonesia akan melaksanakan sidang isbat. Berarti, entah malam ini atau besok malam, tamu agung bernama Ramadan akan datang mengetuk pintu hati setiap muslim di seluruh dunia.

Kaum muslimin seyogianya merasakan kebahagiaan dan menyiapkan semangat untuk menyambut bulan penuh berkah, yang di 10 hari pertamanya penuh rahmat, 10 hari keduanya berisi ampunan dan 10 hari terakhirnya dijanjikan 'grasi' dari neraka. Namun, di saat bersamaan, para muslim harus juga mengingat atas dirinya sendiri, introspeksi diri atas apa yang telah dilakukan sejak Ramadan sebelumnya.

Teringat oleh sebuah kalimat yang selalu diingatkan oleh kiai saya ketika mondok di Gontor dulu. Setiap tahun ajaran baru, seluruh santri dan guru dikumpulkan di balai pertemuan untuk mendengarkan ceramah kiai perihal kepondokmodernan. Materi ceramah setiap tahunnya, dari saya masuk sampai mengabdi selama satu tahun, tidak pernah berubah.

Materi ceramah yang tidak pernah berubah tersebut selalu disinggung oleh kiai saya setiap tahunnya. Beliau berdalih bahwa ini semua dilakukan untuk tajdidu-n-niyyah, memperbarui niat. Diharpakan para santri baru bisa menata niatnya untuk masuk ke pondok dan para santri lama bisa meluruskan niatnya lagi, setelah liburan panjang, untuk kembali mondok.

Perihal tajdidu-n-niyyah tersebut dikuatkan dengan sebuah tulisan yang terpampang di gedung depan balai pertemuan. Gedung yang terletak di samping masjid itu memiliki tulisan: udkhulu fi Gontor kaffah, masuklah ke Gontor secara total. Totalitas memang sesuatu yang sangat diperlukan untuk melalui sebuah perjuangan di pondok. Kita tidak boleh tergoda dengan apa yang terjadi di luar pondok. Fokus kita dari bangun tidur sampai tidur lagi, bahkan ketika tidur, adalah menuntut ilmu lillahitaala.

Kembali ke perihal Ramadan. Layaknya seorang tamu, Ramadan harus disambut dengan persiapan yang matang. Bayangkan jika seorang tokoh idola kita akan mampir ke rumah. Tentunya kita akan membersihkan ruang tamu kita sampai kinclong, menyiapkan makanan terbaik untuk mereka dan bersolek sedemikian rupa agar penampilan prima dihadapannya.

Bedanya, Ramadan datang tidak pernah minta disambut. Sambutan kepada Ramadan tercermin dari bagaimana kita mengisi hari-hari kita. Kalau kita isi Ramadan dengan peningkatan ibadah (puasa, salat, sedekah dll), kegiatan sosial atau kegiatan produktif lainnya, insya Allah akan diganjar kebaikan juga. Namun, bila kita sambut Ramadan dengan hal-hal yang biasa saja, apa yang kita terima akan sama seperti yang kita berikan. Seperti halnya tamu yang kita sambut akan mengapresiasi kita atas sambutan yang hangat dan akan mencibir kita bila disambut dengan buruk.

Ramadan tidak sampai 50 jam lagi, masih ada waktu untuk kita semua mulai menata hati dan pikiran untuk fokus beribadah di bulan Ramadan. Mulai niatkan segala aktivitas kita, baik itu bekerja, belajar, berjalan, berkendara dan lain-lain, untuk ibadah di jalan Allah. Niatkan setiap tarikan nafas kita mulai saat ini untuk mengejar ridha Allah. Bersihkan hati kita dari perasaan iri, dengki serta penyakit hati lain untuk melalui penyucian diri selama bulan Ramadan.

Mengutip hadits yang diriwayatkan Umar bin Khattab:

Innama-l-a'maalu bi-n-niyyati wa innama likulli-m-ri'in ma nawa (HR. Bukhari)

Artinya: Segala pekerjaan diawali dengan niat dan setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline