Lihat ke Halaman Asli

Mh Firdaus

Penulis

Perkawinan Anak dan Kewirausahaan Pemuda

Diperbarui: 14 November 2019   15:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Belajar usaha melalui aplikasi upaya mendorong kewirausahaan mahasiswa Unwika, Kupang

Berita anak dibawah umur menikah di pengungsian menggemparkan public awal November 2019. Ditemukan 84 kasus perkawinan anak di 12 titik dari 400 lokasi pengungsian penyintas bencana Sulawesi Tengah, bagai petir di siang bolong (Kompas, 7 November 2019).

Sejumlah kalangan meyakini itu puncak gunung es dari kondisi sebenarnya. Informasi ini menandakan bahwa perkawinan anak menyebar di banyak kondisi. Kasus perkawinan anak di pengungsian seolah mempertegas status Indonesia sebagai salah satu kawasan ke-7 dunia dan nomor ke-2 se Asia Tenggara tertinggi jumlah perkawinan anak.

Tepat, pemerintah RI mengeluarkan UU No.16 Tahun 2019 tentang perubahan atas Undang-Undang Perkawinan tahun 1974 tentang perkawinan yang menaikan batas usia menikah minimal 19 tahun. Kebijakan ini menjadi amunisi kepala daerah, camat dan kepala desa untuk menindaklanjuti aturan melalui; perbub, perwali, perdesa dsb, guna implementastitif di kalangan masyarakat basis.

Mudah-mudahan berbagai kebijakan untuk menekankan perkawinan anak berdampak kepada tingkat pencapaian keadilan gender di Indonesia. Indek Gender yang dikeluarkan EM (Equal Measure) 2030 menempatkan pencapaian Indonesia masih turun naik. Menurut Indek Gender SDGs yang diluncurkan di Kanada, Juni 2019 berjudul "Harnessing the power data Gender equality (introducing the 2019 EM 2030 SDGs Gender Index)", dengan skala dari 0 -100, rata-rata indek gender negara asia dan pasifik, memiliki skore 64,6 yang berarti jatuh pada posisi kurang baik ("poor").

Nilai rata-rata skor dan rangking Indonesia berada di 65,2 bila dilihat keterkaitan pencapaian tujuan 5 (gol Gender) dengan berbagai tujuan lain SDGS; 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 13, 16 dan 17. 

Secara rinci, skor Indonesia bervariasi, mulai kategori "baik" (good) hingga "sangat buruk" (very poor.) Untuk kategori exelent, Indonesia belum memiliki keterkaitan gol dengan yang lain. Seperti diungkap dalam hal. 23 Gender Indek, Indonesia memperoleh skor "baik" (good) pada pencapaian gol 2 (tentang kelaparan dan nutrisi), gol 3 (tentang kesehatan) dan gol 6 (tentang ketersediaan air dan sanitasi). Data ini serasa pas dengan kondisi Indonesia bila dianalisis dengan analisa keadilan gender.

Sementara level kategori yang banyak ditempati adalah "poor" (kurang atau miskin), dimana posisi gol 1 (kemiskinan), 8 (kerja dan pertumbuhan ekonomi), 10 (inrquality), 16 (perdamaian), 5 (gender) dan 9 (industry, inovasi dan inrastruktur) dinilai masih "poor". Itulah penelitan gender indek terhadap posisi Indonesia.

Kewirausahaan "Meredakan" Pemuda Kawin dini

Banyak studi memperlihatkan bahwa kemiskinan merupakan satu sebab orang tua menikahkan anak di usia muda. Contohnya, BPS dan Unicef dalam "Analisis Data Perkawinan Usia Anak di Indonesia 2015", menyatakan hubungan antara pengaruh kemiskinan atas perkawinanan anak. 

Umumnya anak perempuan khususnya dari kelurga miskin disegerakan menikah guna mengurangi beban keluarga. Meski bukan faktor satu-satunya, studi Universitas Indonesia bersama KPPPA 2016 tentang perkawinanan anak di Kalimantan Tengah, menyimpulkan kemiskinan menjadi salah satu faktor perkawinan anak.

Terus apa hubungannya dengan trend kewirausahaan? Indonesia diprediksi mengalami bonus demografi tahun 2020-2030. Dampak positifnya adalah melimpahnya sumberdaya muda dalam pembangunan nasional. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline