Lihat ke Halaman Asli

I Gede Sutarya

Penulis dan akademisi pada Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar

Ancaman dan Kesadaran Pariwisata Bali Pasca Pandemi

Diperbarui: 30 Juli 2022   20:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pasca pandemi covid 19, pariwisata Bali bergeliat. Pada tahun 2021, kunjungan wisman ke Bali hanya 51 orang. Pada tahun 2022 sampai April, kunjungan wisman mencapai 58.335 (BPS Bali, 2022). Peningkatan kunjungan wisman ini memberikan harapan baru bagi pariwisata Bali, sehingga investasi mulai menunjukkan kegairahannya. 

Dukungan investasi ini memerlukan sumber daya alam dan sumber daya manusia. Prediksi peningkatan penggunaan sumber daya alam ini telah menimbulkan ancaman kelestarian lingkungan, melalui pembangunan terminal LNG di Sanur, Bali (JPPN, 20/7/2022). 

Ancaman ini juga datang dari pembangunan pusat kebudayaan Bali di Gunaksa, Klungkung, yang mengganggu alam di Bukit Buluh, Gunaksa (Tribune Bali, 11/5/2022). Peningkatan investasi ini juga akan mengganggu hutan lindung di Bali utara yang sudah dilirik menjadi bandara internasional  (detikbali, 18/7/2022).

Ancaman-ancaman terhadap lingkungan alam ini mengkhawatirkan sekali di tengah perubahan peraturan daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Bali (detikbali, 18/7/2022). Perubahan-perubahan ini mengancam konsep pembangunan pariwisata budaya yang direncanakan di Bali sejak tahun 1971. 

Pariwisata budaya dibangun untuk melestarikan budaya dan alam Bali. Karena itu, pariwisata dikembangkan untuk memberikan nilai tambah bagi pelestarian budaya dan alam Bali. 

Konsep pembangunan pariwisata budaya ini menempatkan pariwisata sebagai alat untuk pelestarian budaya dan alam Bali. Akan tetapi, perkembangannya mengarah kepada penggunaan budaya dan alam Bali sebagai alat pariwisata sehingga Picard (2008) mengkritik pariwisata budaya telah menjadi budaya pariwisata. Kecenderungan ini semakin tampak pada ancaman-ancaman terhadap hutan lindung Bali. 

Ancaman ini juga tampak pada budaya Bali yang mulai dianggap tempat permainan bagi wisman. Contohnya pada kasus pemanjatan pohon sakral di Tabanan, Bali (merdeka.com, 13/6/2022).

Kasus-kasus ini menunjukkan perkembangan pariwisata Bali telah mulai berjarak dengan jiwa pembangunan Bali yaitu filosofi Tri Hita Karana, yaitu parahyangan (tempat suci), pawongan (pemukiman), dan palemahan (lingkungan alam). Padahal, peraturan daerah tentang kepariwisataan budaya menempatkan dasar pembangunan pariwisata Bali adalah Tri Hita Karana (Perda No.2 Tahun 2012). 

Penjabaran peraturan daerah ini telah ditetapkan menjadi program kerja Gubernur dan Wakil Gubernur Bali 2018 - 2023 yaitu Nangun Sat Kerthi Loka Bali, yaitu melestarikan hutan (wana kertih), melestarikan manusia Bali (jana kertih), melestarikan spirit Bali (atma kertih), meletarikan danau (danu kertih), melestarikan pantai (segara kertih) dan melestarikan lingkungan (jagad kertih).

Landasan dan program pembangunan Bali ini berada dalam alur pembangunan dunia yang disebut dengan pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Konsep sustainable development berasal dari konsep-konsep masyarakat Hindu dunia, yang menyangkut konsep tentang Amerta (kehidupan yang abadi). 

Konsep kehidupan abadi ini adalah konsep masyarakat yang tercerahkan (civil society) yang dalam purana-purana Hindu disebut sebagai masyarakat kedewataan (yang tercerahkan). Lawan dari masyarakat kedewataan ini adalah masyarakat raksasa yang tidak memperhatikan masa depan. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline