Lihat ke Halaman Asli

I Gede Sutarya

Penulis dan akademisi pada Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar

Kasus Narkoba dan Standar Ganda Pariwisata Budaya Bali

Diperbarui: 23 April 2022   12:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Polda Bali menyita 39 Kg narkoba di sebuah villa di Kuta-Bali. Tangkapan ini merupakan tangkapan narkoba yang cukup besar di Bali. Kasus ini merupakan rekor terbaru kasus narkoba di Bali (Media Indonesia, 13/4/2022). Tangkapan narkoba ini merupakan gunung es dari kondisi narkoba di Bali. Hal ini berhubungan dengan prilaku wisatawan (domestik dan manca negara) di Bali.

 Pada berbagai kasus, Bali terkenal sebagai tempat untuk melakukan pesta anak-anak muda, terutama anak-anak muda dari Australia. Liputan 6.com (11/2, 2016) mengkritik prilaku anak-anak muda yang melakukan pesta-pesta di Bali.

Kasus ini menunjukkan bahwa Bali telah menjadi destinasi wisata pesta-pesta. Citra ini melengkapi sejarah pariwisata Bali, yang dulu sempat diisukan sebagai sorga kaum homoseksual (CNN Indonesia, 21/10/2016). Isu Bali sebagai destinasi wisata seks sempat juga muncul melalui tayangan seorang wisatawan yang viral tentang adegan seks (Tribune News, 19/4/2017).

 Isu-isu ini seakan membenarkan bahwa pariwisata tidak terlepas dari sand (pasir), sea (pantai), sun (matahari), dan seks. Isu-isu ini menunjukkan Bali sebagai destinasi yang hampir sama dengan destinasi wisata lainnya di dunia seperti Thailand (tourismteacher.com, 2/4/2020).

Dalam sejarah pariwisata budaya misalnya grand tour, terdapat juga catatan orang-orang yang mabuk dan prostitusi. Karena itu, pariwisata budaya dari sejarahnya hanya sebuah ikon yang di dalamnya disusupi berbagai kepentingan-kepentingan wisata lainnya.

 Akan tetapi, itu menjadi bagian yang tersembunyi dari ikon besar itu sehingga yang muncul di permukaan adalah pariwisata budaya. Grand tour misalnya adalah pariwisata dengan ikon untuk mempelajari peradaban-peradaban masa lalu pada daerah-daerah yang bersejarah, sedangkan aktivitas lainnya merupakan aktivitas tersembunyi.

Ide grand tour ini menjadi cikal-bakal ide pariwisata budaya. Pariwisata budaya adalah pariwisata untuk mempelajari budaya-budaya masa lampau, baik yang masih hidup atau sudah mati, sehingga peninggalan-peninggalan bersejarah (heritage) dan kehidupan masyarakat tradisional menjadi destinasi pariwisata budaya. 

Tujuan mempelajari budaya ini memberikan harapan jika wisatawan budaya memiliki lama tinggal yang lebih lama dan cinta kepada produk-produk seni masyarakat tradisional sehingga lebih menguntungkan masyarakat lokal sebagai pemilik kebudayaan.

Ide ini tidak berjalan dalam realitas pariwisata budaya di Bali. Pariwisata budaya Bali mengikuti model pariwisata massal, yaitu pembangunan resort hotel dan kawasan-kawasan mewah sehingga berjarak dengan masyarakat lokal. 

Tour-tour ke destinasi budaya hanya dilakukan dalam waktu singkat sehingga hanya menonton keunikan Bali, bukan mempelajari budaya Bali. Hal ini sudah sering mendapatkan kritik dari para budayawan Bali, bahwa pariwisata hanya menjadikan masyarakat Bali sebagai tontonan. Hotel-hotel sempat membuka diri untuk pentas-pentas kesenian masyarakat lokal, tetapi penuh dengan kritik honor murah dan perlakuan kelas dua.

Hal ini terjadi karena pembangunan pariwisata budaya berjarak dengan masyarakat lokal. Jarak ini telah terbangun dari perencanaan pariwisata Bali tahun 1971 melalui Sceto Plan. Perencanaan tahun 1971 merupakan bagian dari skema besar Orde Baru yaitu kapitalisme.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline