Lihat ke Halaman Asli

I Gede Sutarya

Penulis dan akademisi pada Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar

Galungan, Krisis, dan Janji Pariwisata

Diperbarui: 9 November 2021   15:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Masyarakat Hindu di Bali pada 10 dan 20 Nopember 2021 ini merayakan hari raya Galungan dan Kuningan. Hari raya ini adalah hari raya kemenangan Dharma melawan Adharma yaitu lahir dari mitologi lokal Bali yaitu Mayadanawa, raksasa penguasa Bali yang jahat yang dikalahkan Dewa Indra. Hari kemenangan ini dimulai dari 7 Nopember 2021 yang disebut penyekeban, yang artinya disiplin diri. 

Pada 8 Nopember 2021 adalah penyajahan, yang artinya penguatan keyakinan terhadap kebenaran. Pada 9 Nopember 2021, adalah penampahan, yang artinya maju berperang melawan ketidakbenaran. Pada 10 Nopember 2021, adalah hari raya kemenangan, yang dilakukan dengan berbagai ritual dan pujaan terhadap para dewa.

Fokus pemujaan pada hari raya Galungan adalah kepada Bhatari Durga, penguasa bhumi. Dewi Durga disimbolkan dalam sarana upacara yang berupa candigaan, yang berasal dari kata candika yang merupakan nama lain dari Bhatari Durga. 

Pada hari Galungan, juga dipersembahkan upacara inti berupa tumpeng yang merupakan lambang lingga. Persembahan lingga ini dipersembahkan kepada Durga yang merupakan yoni atau bumi. Dengan persembahan ini diharapkan lingga dan yoni menunggal sehingga dunia berada dalam keharmonisan.

Perayaan Galungan dan Kuningan pada tahun ini berada di tengah krisis ekonomi Bali akibat dari pandemi covid 19. Bali sempat menikmati puncak kunjungan wisman 6 juta pada tahun 2019, tetapi menurun drastis tahun 2020 dan 2021 ini. 

Penurunan ini sangat mengganggu ekonomi Bali sehingga berdasarkan data Bank Indonesia, Bali mengalami pertumbuhan minus 4,08 persen pada Triwulan II tahun 2021 dan minus 3,43 persen pada Triwulan III tahun 2021. Pertumbuhan minus ini tentu memberatkan bagi masyarakat Bali yang bergantung pada sektor-sektor pariwisata karena sektor pariwisata belum menunjukkan pertumbuhan yang berarti.

Krisis ekonomi ini menjadi pelajaran bagi masyarakat Bali, untuk memberikan makna baru bagi mitologinya. Rangkaian hari raya Galungan dan Kuningan telah memberikan pelajaran bahwa untuk memenangkan dharma maka manusia Bali harus berdisiplin (panyekeban), memiliki keyakinan (penyajahan), dan keberanian untuk berperang (penampahan)

Disiplin dalam dharma selalu dikaitkan dengan pengendalian diri (yama dan nyama). Beberapa yang terpenting dari disiplin itu adalah brahmacari (belajar terus menerus) dan aparigraha (hidup sederhana).

Dalam brahmacari, masyarakat Bali harus belajar bahwa keinginan untuk mendapatkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, telah menyebabkan orang Bali lupa terhadap kapasitas dirinya, kemampuannya, dan keberlangsungannya. Sampai kedatangan wisman yang berjumlah enam juta, masyarakat Bali belum merumuskan seberapa besar daya tampung Bali. 

Masyarakat Bali juga belum merumuskan kemampuan dirinya untuk melayani pertumbuhan wisman tersebut. Semua itu diabaikan karena keinginan masyarakat Bali untuk meraup keuntungan yang sebanyak-banyaknya, yang kemudian menjadi jebakan ketergantungan kepada pariwisata. 

Jebakan ini menjadikan Bali sangat riskan dengan isu-isu dunia dan pandemi sehingga ketika terjadi masalah di belahan dunia lain maka Bali mengalami berbagai masalah juga. Hal itu menunjukkan ketidakkuatan Bali untuk berdiri di atas kakinya sendiri sehingga harus selalu bersandar dalam kerumunan masyarakat dunia.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline