Lihat ke Halaman Asli

Maduma, Martabe dan Marsomba

Diperbarui: 24 Februari 2016   11:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

 

Dulu, saat kehadiran zending di tanah Batak, khususnya di Toba membawa perubahan yang amat signifikan pada orang Batak. Masa itu generasi awal yang dilawat Injil tercerahkan dengan pendidikan. Maka tak heran mulai dari masa itulah banyak orang Batak yang berjibaku menimba ilmu dan berhasil. Maka profesi selain pendeta, guru menjadi sesuatu yang mulia. Tahun 70-an saat Malaysia kekurangan guru dan meminta bantuan Indonesia untuk mengirimkan guru dan dosen agar mengajar di Malaysia, salah satu etnis penyumbangnya adalah orang Batak.

Namun, semenjak tahun 80-an orang Batak sudah lebih banyak yang merantau, dan tak banyak lagi sekolah guru, apalagi pendeta. Profesi yang digeluti seluruhnya profesi yang cepat kaya. Saat itu terjadilah fenomena Brain Drain, mengalami migrasi kaum intelektual ke luar. Sebelumnya, orang Batak masih menganut filosofi dalam kehidupan, bahwa menjadi bahagia itu, mesti hidup bermakna, tetapi oleh perubahan masa tujuannya berubah, ”mamora” kaya raya menjadi tujuan.

Kini, sering waktu pemikiran itu mulai juga berubah, karena pemahaman yang dalam tentang makna hidup. Bahwa hidup tak sekedar hanya harga. Perubahan itu, seperti terjadi fluktuasi. Sadar, bahwa hidup ternyata tak sekedar harta saja, harta hanyalah hiasan hidup sementara. Sekarang, kembali sebagian mereka yang sudah mapan ekonominya menyekolahkan anaknya kembali sekolah teologia.

Memang masih banyak motif lain di luar itu. Barangkali melihat fenomena saat ini, tantangan orangtua membina anak kita diperhadapkan pada tantangan, narkoba, seks bebas dan segala macamnya itu. Satu pemikiran gerejalah tempat yang tepat untuk membina mental anak.

Padahal, jelas juga gereja juga tak jua bisa selalu setia dalam pembina mental. Kita ingat, pernah satu masa untuk membangkitkan Tanah Batak pernah muncul beberapa gagasan, antara lain Maduma dan Martabe. Martabe singkatan dari Marsipature Hutana Be, kalau diterjemahkan secara bebas “membangun kampung masing masing,” yang populer tahun 1980-an. Jangan lupa juga kita masa itu terjadi degradasi etos Batak, banyak ladang “tarulang” tak digarap. Martabe menggabungkan dua bahasa, Angkola-Mandailing dan Batak Toba.

Sementara Maduma, yang dipelesetkan jadi “Mangula Dungi Mangan” yang jika diartikan, bekerja baru makan. Jika kita hubungkan dengan kata Alkitab, yang tak berkerja janganlah makan. Maduma awalnya sebuah gerakan yang dirintis oleh Ir Humuntar Lumban Gaol (mantan Inspektur Jenderal Pembangunan Bidang Pembangunan Desa, 1994-1998). Gerakannya ini tentu mendapat sokongan dana dari Orde Baru waktu itu. Namun sayang, walau Maduma banyak membantu masyarakat Bona Pasogit, dengan pemberian bibit kopi di Sileang, dan membantu traktor di Dolok Sanggul, tak berhasil. Mesti dicatat juga, gerakan Maduma juga sempat mengirimkan pemuda-pemuda Batak lulusan pertanian UGM, IPB, untuk memberikan penyuluhan pada petani.

Bahkan mendorong di beberapa kecamatan Tapanuli waktu itu dikembangkan Sekolah Pertanian. Hanya, masyarakat tak menyambut gerakan itu. Gerakan ini hanya berhasil membangun jalan-jalan provinsi dan beberapa jembatan di Tapanuli, dan juga kapal ferry ke Sibolga. Lalu, memberikan bibit kopi sigarar utang di dimulai di kecamatan kecil Onan Ganjang, yang sekarang masuk dalam wilayah Kabupaten Humbang-Hasundutan. Walau tak tak begitu berhasil, inspirasi dari spirit Maduma itulah mendorong (alm) Raja Inal Siregar, ketika itu menjadi Gubernur Sumatera Utara meminta persetujuan Humuntar agar dia yang meneruskan proyek Maduma, berganti nama menjadi Martabe.

Sebenarnya, konsep Martabe jauh sebelumnya sudah ada spiritnya dengan menggelar kongkow-kongkow masyarakat Batak di Bandung, Desember 1986, waktu itu, Raja Inal ini adalah Panglima Kodam Siliwangi. Martabe juga tak sepenuhnya berhasil. Walau harus diakui ada keberhasilan mengajak perantau membangun kampung halaman masing-masing. Disinilah juga masalahnya karena “hanya” membangun kampung masing-masing. Tak bisa sepenuhnya berhasil, jika seluruh perantau mau kembali ke kampung halamannya. Ketenaran gerakan Martabe pun tak setenar namanya. Kata sohotnya “Martabe” sendiri sekarang malah dimanfaatkan satu perusahaan tambang swasta, memakai Martabe.

Saat teduh

Budaya kita memang latah membuat akronim bagus. Tetapi paling tidak akronim Marsomba juga terinspirasi tahun keluarga HKBP. Marsomba: akronim dari Marsaulihon Roha dohot Sohot asa Mian Badia. Jika dialihbahasakan bisa diartikan, agar saling menjaga hati dan pikiran agar tercipta kehidupan keluarga yang harmonis dan suci. Ajakan untuk memperbaiki hati dan pikiran bersama keluarga tetap senantiasa menjaga kekudusan. Keluargalah sekolah yang pertama dan terutama dalam membangun sikap mental.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline