Lihat ke Halaman Asli

Y. Edward Horas S.

TERVERIFIKASI

Pendiri Cerpen Sastra Grup (cerpensastragrup.com)

Cerpen: Peluru yang Tak Pernah Dikokang

Diperbarui: 29 Januari 2023   05:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi peluru, sumber: MTVN/Mohammad Rizal via medcom.id

"Kau ingin peluru ini bersarang di mana? Kepalamu, jantungmu, atau matamu?" tanyaku sedetik setelah kutempelkan mulut pistolku lekat di dahi seseorang. Dari beberapa yang sudah terjadi, rata-rata tak ada yang menjawab, melainkan hanya menggetarkan tubuh, mengucurkan keringat dingin, lantas tergeletak di lantai.

Sejak remaja aku selalu menikmati pembunuhan. Sebagai anak yang tak punya bapak dan ibu yang pergi entah ke mana, tak ada yang melarangku menonton film dewasa. Sebentar... sebentar.... Maksudku di sini bukan film-film yang membuat sesuatu pada bagian bawah lelaki berdiri, pun juga tidak merangsang gelisah perempuan yang mendadak berubah perasaannya. 

Pada setiap film laga yang diputar tengah malam, aku selalu senang melihat kegagahan seseorang -- bisa laki bisa perempuan -- yang berkuasa penuh atas nyawa orang-orang. Barangkali memang tak ada yang tak sayang nyawa, tampak dari begitu takutnya orang-orang itu ketika pistol yang siap dikokang menatap wajah mereka. Pada saat itu, pemegang pistol seakan-akan mendapat anugerah penuh untuk bebas memperlakukan orang-orang yang takut itu dan pastilah orang-orang yang takut itu akan memberikan apapun dan melakukan apapun demi keselamatan nyawa mereka. Ada satu film yang memperlihatkan perlawanan korbannya dengan tidak mau patuh, namun tentu, tak berapa lama terdengar bunyi tembakan. Pemegang pistol lantas tersenyum seolah-olah berhasil meredam pemberontakan.

Bukankah orang-orang pasti senang jika berkuasa atas orang lain? Menyuruh ini, memperlakukan itu, membuat orang lain jadi budak, mengambil hak bebas orang. Siapa yang tidak haus jadi tuan? Siapa yang tidak ingin punya hamba? Demikianlah kubulatkan tekad untuk memuaskan nafsuku dengan mendaftar sebagai pembunuh bayaran pada aplikasi GoKill.

Aplikasi ini belum lama ada. Jika kau perlu diantar kendaraan ke suatu tempat, silakan memesan jasa GoRide. Kalau mau beli makanan tanpa perlu capek-capek pergi, kau boleh memesan menu GoFood. Rumah kotor tak ada yang membersihkan, pembantu akan datang ke rumahmu dengan biaya pantas yang sudah terpesan di GoClean. Yang terakhir, untuk memuaskan nafsu sebagian orang, muncullah GoKill.

Tentu, karena ini bisnis terlarang, identitasmu sebagai pemesan akan dirahasiakan. Kau bebas memesan pembunuh bayaran, namun sebelumnya perlu menuliskan apa alasan seseorang harus dibunuh. Ini dipakai sebagai dasar penilaian GoKill untuk menentukan siapa yang terpilih sebagai pembunuh. Ya, dalam perkembangan aplikasi guna memenuhi pesanan yang semakin banyak -- entah kenapa orang-orang sekarang mudah sekali membunuh -- telah ditetapkan spesialisasi pembunuh. Pembunuh akan menerima alamat rumah target pembunuhan.

Ada pembunuh spesialisasi koruptor. Lantaran orang-orang yang diajak korupsi tak ingin terseret ke persidangan, pembunuh bisa dipesan untuk menghilangkan nyawa koruptor yang sudah jadi tersangka. Ada pembunuh spesialisasi perselingkuhan. Jika kau tak mau selingkuhanmu meneror dan mengompas uangmu lewat ancaman akan membeberkan perselingkuhanmu ke istrimu, silakan saja memesan pembunuh untuk menutup mulutnya. 

Aku terpilih jadi pembunuh spesialisasi korban perkosaan. Sudah kubaca alasan pemesan berulang-ulang dengan tepat: mereka tak mau korban melaporkan tindak kejahatan perkosaan ke pihak berwenang sehingga -- tentu saja kau tahu -- mereka dijebloskan ke penjara.

Sekali waktu, aku pernah menyusup ke apartemen seorang perempuan muda di tengah ibukota. Dengan kawat yang sudah kurangkai sedemikian rupa, aku berhasil masuk dan lekas sembunyi di bawah ranjang. Beberapa saat setelah itu, wanita itu pulang dari pesta, menaruh tasnya di atas meja, lantas merebahkan diri di ranjang. Ia melempar sepatu ke rak di ujung kamar lalu bergegas melepas baju dan berlari ke kamar mandi. Nah, seusai tubuhnya penuh harum dengan wewangian sabun, aku berdiri tepat di depan pintu kamar mandi. Ia membuka pintu dan kupastikan pistolku mengarah ke dahinya. Aku mengokang pistol.

"Kau ingin peluru ini bersarang di mana? Kepalamu, jantungmu, atau matamu?" tanyaku padanya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline