Lihat ke Halaman Asli

Y. Edward Horas S.

TERVERIFIKASI

Pendiri Cerpen Sastra Grup (cerpensastragrup.com)

Cerpen: Rumah Ogleng

Diperbarui: 13 November 2021   19:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi rumah, sumber: Pixabay/Pexels

Ogleng masih duduk di lantai teras rumah. Matanya kosong, memandang jalan di depan. Sejauh matanya memandang, jalanan itu kosong. Orang-orang serasa pergi entah ke mana. Selama Ogleng memandang, berkali-kali Ogleng membuka dompet di saku celana. Juga kosong.

Ogleng tidak tahu harus berbuat apa lagi. Ponsel-ponsel bermerek yang Ogleng punya, sudah hilang satu demi satu, terjual. Deretan motor mewah yang sempat menghiasi garasinya dan menjadi tontonan banyak orang, juga hilang, kali ini serempak, pun karena terjual.

Ogleng sempat menjadi orang terpandang di kampungnya. Bukan karena usaha Ogleng sehingga ia terbilang orang berhasil. Bukan pula karena Ogleng sudah membantu banyak warga lantas ia dikenal sebagai orang baik.

Satu-satunya yang seketika menaikkan derajat Ogleng di mata para warga adalah ketika Ogleng beroleh kabar bahwa ia juga mendapat warisan dari ibunya. Ibunya punya banyak rumah, tersebar di berbagai kampung.

Ogleng tinggal menerima dan tidak bisa menawar apa-apa. Posisinya sebagai anak terakhir dari empat bersaudara hanya mampu membuatnya menganggukkan kepala waktu surat wasiat dibacakan sehari setelah ibu meninggal.

"Saya tidak mau rumah itu!" ucap Ogleng setelah sesaat berdiri dari tempat duduk. Ketiga saudaranya yang juga berdiri di depannya menatap tajam.

"Syukur-syukur kamu masih dapat rumah. Apa yang sudah kamu buat untuk ibu? Ibu sakit, kamu malah asyik di kota!" jawab salah satu saudara sambil berkacak pinggang saat itu.

Ogleng merasa rumah yang jadi bagiannya -- meskipun paling besar di kampung itu -- adalah yang paling kecil di antara rumah-rumah untuk kakaknya. Rumah itu berlantai dua. Cat temboknya berwarna biru. Ada sedikit teras di depan.

Ogleng sebetulnya ingin rumah yang lebih besar. Paling besar pun, ia berusaha keras mendapatkan. Tapi, tulisan dalam surat wasiat ibu tidak bisa diubah. Amarah saudara-saudaranya yang tidak kunjung redam pun sulit dilawan.

Pada sisi lain, bersama dengan kepulangan Ogleng dari kota, Ogleng membawa begitu banyak utang yang harus dilunasi. Ia kalah judi. Rumahnya di kota sudah terjual. Ia masih terlilit utang. Sempat pula ia tertipu dan diperdaya oleh wanita-wanita simpanan. Ia pulang memang untuk cari warisan. Tetapi, tidak rumah itu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline