Lihat ke Halaman Asli

Y. Edward Horas S.

TERVERIFIKASI

Pendiri Cerpen Sastra Grup (cerpensastragrup.com)

Cerpen: Ibuku Tidak Pernah Marah

Diperbarui: 11 Agustus 2021   21:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: ngabuburitan.blogspot.co.id

Ibu, mengapa engkau tidak pernah marah? Aku tahu hatimu terluka, dadamu tersayat, tanganmu tergores, tetapi kau tetap diam saja, tidak ada sedikit pun maksud untuk membalas mereka. Adakah engkau memang begitu baik sedari lahir, ibu? 

Siang itu tidak seperti siang-siang sebelumnya. Matahari enggan muncul, mengintip malu-malu di balik pekatnya awan gelap. Angin berembus kencang, dari timur ke barat, menggoyangkan daun-daun kering yang jatuh begitu saja, menerbangkannya ke sana kemari, membuat sekeliling menjadi berantakan, tanpa terurus dan tiada yang memperhatikan.

Sudah hampir lima jam, seorang gadis kecil masih terduduk di tengah taman itu. Rambutnya yang panjang, cokelat kusut seperti tidak pernah tersisir, sedikit bau dan dihinggapi beberapa lalat.

Ia masih menunduk ke arah tanah. Merenung, mengapa ibu tidak pernah marah. Banyak tanya dalam hidupnya. Sampai detik itu, masih tersisa banyak tanya. Ia tidak kuasa menjawab. Takada pula yang bisa memberinya jawaban.

Kakinya perlahan melangkah, gontai berjalan. Diputarinya taman itu sambil dilihatnya kenangan-kenangan yang begitu melekat dan sulit dilupakan dalam benaknya.

Ibu, bisakah aku bertemu denganmu suatu saat nanti? Waktu di mana kita berjumpa hanya berdua. Kita akan bercerita tentang dunia ini. Tentang bagaimana perlakuan tidak adil dari orang-orang yang membenci ibu.

Aku tidak pernah tanya mereka, mengapa mereka membenci ibu. Tanpa kutanya pun, perbuatan mereka adalah jawaban. Mereka selalu menyiksa ibu tanpa sedikit belas kasihan. 

Padahal ibu sudah membantu mereka. Ibu sudah menolong mereka. Mereka tidak tahu berterima kasih. Bagaimana ceritanya bila mereka tanpa ibu? Apakah memang sudah tidak ada keadilan di dunia ini? Apakah perbuatan baik tidak bisa dipertimbangkan dan diingat kembali untuk mengendalikan keserakahan?

Gadis itu masih terus berjalan. Matanya kosong, tidak ada memori kebahagiaan selain derita yang terus dilihatnya, dari hari ke hari, seperti neraka tanpa sentuhan surga. Penderitaan demi penderitaan datang, menimbulkan kesendirian yang tak kunjung usai, sampai-sampai ia berteriak dan hanya punya harap agar ibu suatu ketika kembali. Akankah ia akhirnya menyusul ibu?

Ia berhenti sejenak. Tatapannya mengarah pada seekor belalang hijau yang kurus kecil, hinggap pada rumput yang berwarna cokelat, seperti habis terbakar. Belalang itu lompat ke sana, lompat ke sini, dan akhirnya hinggap di rambutnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline