Lihat ke Halaman Asli

Y. Edward Horas S.

TERVERIFIKASI

Pendiri Cerpen Sastra Grup (cerpensastragrup.com)

Budaya Membaca Malas, "Budaya" Berkomentar Rajin

Diperbarui: 25 April 2021   21:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi menuliskan komentar di media sosial, Sumber: Pixabay

Saya bukan tipe orang yang dengan mudah berkomentar atas suatu masalah. Setiap komentar yang saya tuliskan atau ucapkan, pasti saya pikir benar apa untung dan ruginya, benar dan salahnya. 

Apakah komentar saya sudah disampaikan dengan bahasa sopan sehingga tidak melukai perasaan orang lain? Apakah komentar saya timbul berdasarkan olah pikir atas data dan fakta yang ada? 

Apakah saya perlu berkomentar bila saya tidak menguasai, bahkan mengetahui lengkap permukaan masalah saja tidak? Atau sebetulnya, saya hanya mengutarakan spontan unek-unek supaya ingin didengar?

Berita-berita viral yang mencuat ke publik, yang disebarluaskan melalui media sosial, dalam hitungan detik, akan muncul banyak sekali komentar. Saya amati, satu demi satu menuliskan pendapat. 

Sengaja, karena saya ingin tahu kualitas komentar warganet seperti apa. Sebelum saya baca pendapatnya, saya simak dulu nama akunnya. Jelas atau abal-abal? Bila yang kedua, dengan cepat saya tutup mata atas komentarnya.

Orang yang berkomentar dengan akun tidak jelas tidak perlu ditanggapi. Mereka tidak berani bertanggung jawab dengan ucapannya. Sayangnya, ini malah dilayani oleh sebagian akun, yang nyata-nyata namanya jelas. 

Mereka beradu debat. Komentar terus dikomentari, panjang lebar, sampai seru. Ada yang mulai kasar bahasanya, ada yang menyisipkan emoji tidak pantas, ada pula yang mentertawakan, sehingga membuat orang yang komentarnya dikomentari tersinggung.

Pikiran demi pikiran terkuras dalam kolom komentar. Emosi satu per satu mulai panas. Energi banyak berhamburan tidak jelas di sana. Sementara itu, akun yang menuliskan berita semakin viral. Bagi saya ini menyedihkan.

Kebebasan berpendapat

Sesungguhnya, berpendapat tidak ada yang melarang. Itu hak asasi manusia. Bila lebih jujur lagi, manusia lebih suka berkomentar daripada dikomentari. 

Jika mengomentari, paling cepat melihat kekurangan dan kelemahan. Jika dikomentari, paling cepat menampilkan kelebihan dan kekuatan. Jarang memang, ada manusia yang gampang mengalah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline