Di Indonesia sendiri, sudah diatur jelas di konstitusi, terkait kebebasan berpendapat. Berdasarkan Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, diatur: "Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat."
Sementara Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dikatakan bahwa: "Setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa."
Warga negara dijamin kebebasannya untuk berpendapat. Kebebasan ini gampang pula kita temukan dengan begitu marak acara talk show di televisi, yang isinya saling beradu pendapat. Tidak sedikit pula acara itu banyak penontonnya.Â
Budaya membaca
Sudah tidak menjadi rahasia, budaya membaca di Indonesia sangat rendah. Mengutip situs Kominfo.go.id, dituliskan:
Fakta pertama, UNESCO menyebutkan Indonesia urutan kedua dari bawah soal literasi dunia, artinya minat baca sangat rendah. Menurut data UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia sangat memprihatinkan, hanya 0,001%. Artinya, dari 1,000 orang Indonesia, cuma 1 orang yang rajin membaca!
Riset berbeda bertajuk World’s Most Literate Nations Ranked yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016 lalu, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca, persis berada di bawah Thailand (59) dan di atas Bostwana (61).
Di sisi lain, akun-akun media sosial dan situs berita daring penyebar hoaks, terus bermunculan. Alangkah sial jika semula malas membaca, giliran mulai membaca, mendapat berita dari sumber yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Hanya menggiring opini tanpa data yang benar. Bila tidak kritis pembacanya, gampang terprovokasi.
Begitu miris bukan, budaya membaca malas, sementara "budaya" berkomentar begitu rajin?
Wasana kata
Akhirnya, bukankah lebih baik bila pendapat-pendapat di komentar media sosial, diredam dahulu dan dikumpulkan, lalu diuji menurut kebenaran data dan fakta, kemudian dituliskan dalam sebuah artikel?