Lihat ke Halaman Asli

Hara Nirankara

Penulis Buku

Petaka di Ujung Usia

Diperbarui: 15 Agustus 2019   11:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Image by Hara Nirankara

Dentuman angin menampar mata, menghunus pernapasan hingga sesak aku dibuatnya. Tetapi jalan indah yang aku lalui teramat sayang untuk dimusnahkan. 

Pohon-pohon yang tinggi dan besar, berdaun lebat, banyak kicauan burung yang bersemayam. Ranting-ranting yang mengering masih setia menempel sepanjang hayat. 

Sesekali aku dengar deruan air sungai yang memanggil. Aku lihat sekumpulan orang berjalan, memanggul cangkul, dan satu karung daun cengkeh. Di antara mereka ada yang membawa sebotol teh tawar, serantang makanan yang sederhana. 

Aku masih berjalan, menyusuri dunia yang entah bernama apa. Sejuk. Sepoi-sepoi angin masih setia mengiringi langkahku. Hening. Tak ada suara kematian yang menertawaiku.

Langkah-langkah semangat mereka membuatku terkagum. Telapak tangan yang kasar namun suci, telapak kaki yang mengeras demi sebuah kehidupan. Senyum-senyum manis tergambar dari wajah mereka. Sedangkan tatapan tulus, oh, bangsat tiada terkira.

Pada akhirnya kamu tidak akan butuh sebuah pengakuan. Sehebat dan sekeras apa dirimu berjuang. Sedang pada faktanya masih ada jutaan orang yang kuat serta tegar, mengguyur kemarau panjang dengan air mata mereka, demi benih yang diharap segera berbunga. Lihatlah, kawanku. Mereka sama sekali tidak peduli seberapa luas ilmumu, seberapa tinggi kastamu. 

Yang mereka tahu hanya berjuang dan berjuang. Segenap nyawa rela dipertaruhkan demi menjaga hak milik. Hak milik yang kian lama direnggut oleh orang yang merasa berkuasa. 

Hak milik yang lambat laun disita oleh negara. Sedang penguasa hanyalah penguasa. Perannya tidak lebih seperti notaris kacang, yang hanya bisa memberikan tanda tangan.

Melalui perintah di atas surat itu kehancuran akan segera datang. Menumbangkan pohon-pohon yang telah berjasa bagi umat manusia. Menghancurkan harapan-harapan hidup layak dari para buruh pedesaan. 

Tanah yang membukit itu akan segera dikeruk, dihisap segala isi perutnya. Ranting-ranting yang kokoh itu akan segera mengering. Burung-burung yang menyanyi itu akan lari kocar-kacir. Bahkan raja hutan pun akan kehilangan aungan.

Tidak ada yang dapat mengalahkan post modernisme. Tidak ada kebenaran yang diakuinya. Dan kesalahan pun dibuang jauh tak berbekas. Mesin-mesin penghancur itu begitu kuat tiada tanding, memusnahkan segala usia yang diistimewakan. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline