Lihat ke Halaman Asli

Kepunahan Bahasa Indonesia

Diperbarui: 29 Mei 2021   11:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Karya: Hillary Tertia Millennia Harianja

Penulis adalah mahasiswa dari prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Negeri Medan. Tulisan ini dibuat dalam rangka penuntasan tugas mata kuliah Penulisan Kreatif yang diampu oleh Ibu Prof. Dr. Rosmawaty Harahap, M.Pd.

Pernahkah Anda mendengar istilah kepunahan atau kematian bahasa? Istilah ini saya rasa sangat familiar bagi mahasiswa atau orang-orang yang berkecimpung dalam dunia bahasa. Disadari atau tidak peritiwa kebahasaan yang dinamakan dengan kepunahan bahasa ini lambat laun dapat terjadi pada suatu bahasa. Di saat orang tak lagi menggunakan suatu bahasa, tentu bahasa yang pada mulanya ada akan menjadi punah atau tidak ada karena ketiadaan penuturnya. Bahkan dimungkinkan pula bahwa penutur asli dari suatu bahasa lebih memilih untuk menggunakan bahasa lain karena dirasa lebih strategis dan ditambah pula mereka tidak mahir atau menguasai bahasa asli mereka. Fenomena yang terjadi akhir-akhir ini adalah geerasi muda (missal: di dareh Jawa) tidak fasih dan menguasai apa yang disebut dengan bahasa krama, karena keterdesakan oleh bahasa lain yang lebih banyak mereka gunakan dalam menjalani aktifitas sehari-hari. Mereka bahkan lebih fasih berbicara dengan bahasa Inggris daripada berbicara dengan menggunakan bahasa krama. Banyak faktor yang menjadi penyebab terjadinya fenomena tersebut, misalnya mereka menggap bahasa Jawa (bahasa asli daerah) mereka kurang gaul bila dibandingkan denagn bahasa Inggris, dan sebagainya. Sungguh miris bukan?

Lalu apakah yang dimaksud dengan peristiwa kepunahan bahasa ini? Sudahkah Anda memiliki pemahaman yang cukup untuk menyikapi jika sewaktu-waktu bahasa asli Anda akan hilang terkikis oleh zaman?

Bagaimanakah sebuah bahasa dikatakan punah? Apakah ketika sebuah bahasa yang tidak dipakai lagi di seluruh dunia disebut sebagai bahasa yang telah punah? Berkaitan dengan hal ini, pendapat yang dikemukakan oleh Dorian ( di dalam Sumarsono dan Partana, 2002: 284) mengungkapkan jika kepunahan bahasa hanya dapat dipakai bagi pergeseran total di dalam satu guyup atau komunitas saja dan pergeseran itu terjadi dari satu bahasa ke bahasa yang lain, bukan dari ragam bahasa yang satu ke ragam bahasa yang lain dalam satu bahasa. Artinya, bahasa yang punah tidak tahan terhadap persaingan bahasa yang lain bukan karena persaingan prestise antarragam bahasa dalam satu bahasa. Berdasarkan penjelasan Dorian ini, dapat disimpulkan bahwa kepunahan bermakna terjadinya pergeseran total dari satu bahasa ke bahasa yang lain dalam satu guyup atau kominitas tutur. Akan tetapi, pada akhirnya para ahli bahasa ini menyimpulkan jika kepunahan bahasa ini bisa mencakup pengertian yang luas dan terbatas.

Selanjutnya, Kloss (di dalam Sumarsono dan Partana, 2002:286) menyebutkan bahwa ada tiga tipe utama kepunahan bahasa, yaitu (1) kepunahan bahasa tanpa terjadinya pergeseran bahasa; (2) kepunahan bahasa karena pergeseran bahasa (guyub tutur tidak berada dalam wilayah tutur yang kompak atau bahasa itu menyerah pada pertentangan intrinsik prasarana budaya modern yang berdasarkan teknologi; dan (3) kepunahan bahasa nominal melalui metamorfosis (misalnya suatu bahasa tutur derajatnya menjadi dialek ketika masyarakat tidak lagi menulis dalam bahasa itu dan mulai memakai bahasa lain. Salah satu contoh bahasa yang mengalami kepunahan karena pergeseran (terjadi pada abad ke-19) yakni bahasa Gaeltacht di Irlandia. Masyarakat Irlandia lebih memilih untuk meninggalkan bahasanya dan menggantinya dengan bahasa Inggris. Menurut beberapa ahli, faktor-faktor yang menyebabkan kepunahan bahasa Gaeltacht tersebut, antara lain1) rapuhnya upaya untuk melindungi dan mempertahankan Gaeltacht; 2) tidak mempunyai guyub tutur yang terpusat di perkotaan; 3) terjadinya modernisasi; 4) adanya kehendak aktif dari masyrakat untuk bergeser; 5) tidak cukupnya konsentrasi masyarakat untuk menghadapi lingkungan yang kuat secara ekonomi dan canggih teknologinya; 6) tidak adanya pengalihan (tansmisi) bahasa asli dari orang tua kepada anak-anaknya; 7) tidak adanya optimisme akan masa depan bahasa.

Kepunahan bahasa dapat pula dialami oleh bahasa Indonesia apabila masyarakat dan pemerintah tidak bersikap tegas dan selektif terhadap berbagai budaya (bahasa) yang masuk ke Indonesia. Menurut Halim (melalui Muslih, 2010: 20) setelah bahasa Indonesia dikukuhkan sebagai bahasa persatuan, situasi kebahasaan ditandai oleh dua tantangan. Tantangan pertama, yakni perkembangan bahasa Indonesia yang dinamis, tetapi tidak menimbulkan pertentangan di antara masyarakat. Tantangan kedua, yakni persoalan tata istilah dan ungkapan ilmiah. Tantangan kedua ini yang menimbulkan prasangka yang tetap dihadapi ilmuan kita yang mengatakan bahwa bahasa Indonesia miskin, bahkan kita dituduh belum mampu menyediakan sepenuhnya padanan istilah yang terdapat banyak dalam disiplin ilmu, teknologi dan seni. Menurut Moeliono prasangka itu bertumpu pada apa yang dikenal dan atau diketahui, tidak ada dalam bahasa Indonesia.

Upaya-upaya yang bisa dilakukan untuk mencegah sekaligus menangani ancaman kepunahan bahasa-bahasa daerah yang ada di Indonesia, antara lain 1) vitalisasi etnolinguistik; 2) menggiatkan penerbitan majalah berbahasa daerah bagi media cetak dan menyediakan program khusus berbahasa daerah; 3) memasukkan sebagian kosakata bahasa daerah ke dalam bahasa nasional; 4) menjadikan bahasa daerah sebagai mata pelajaran wajib di berbagai jenjang pendidikan; 5) membentuk jurusan atau jika memungkinkan fakultas di perguruan tinggi yang khusus membidangi bahasa daerah.

Semoga kepunahan bahasa tidak akan terjadi di Indonesia. Sepatutnya kita melestarikan bahasa kita baik bahasa daerah dikarenakan bahasa sebagai identitas kita sendiri. Tidak salah kita menambah wawasan akan bahasa Internasional ataupun bahasa lainnya sehingga menambah pengetahuan kita yang semakin luas. Tetapi, pemakaian bahasa Indonesia dan bahasa daerah tidak dilupakan.

Referensi:

Sumarsono & Paina Partana. 2002. Sosiolinguistik. Yogyarakta: Sabda

M. Moeliono, Anton. 1985. Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Jakarta: Djambatan.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline