Emil Durkheim merupakan ilmuwan yang memiliki rasa penasaran tinggi terhadap hukum. Metode empiris yang digunakan Durkheim sebagai bukti adanya penelitian terkait realitas sosial, sehingga muncul dalam pemikirannya berbagai pertanyaan, Bagaimana masyarakat terbentu padahal dalam diri individu setiap orang memilki visi kehidupan yang berbeda? Mengapa mereka hidup dalam ikatan masyarakat?.[1] Kedua pertanyaan tersebut memberikan Durkheim celah untuk menemukan hasil penelitian-penelitiannya terhadap masyarakat yang berangkat dari fakta sosial. Kemudian Durkheim menemukan tipe-tipe sanksi yang diberikan sesuai dengan bentuk solidaritas yang ada.
Hukum sebagai moral sosial, sehingga dapat dikatakan bahwa hukum merupakan implikasi dari solidaritas sosial yang terdapat dalam masyarakat. Masyarakat tidak akan bisa hidup tanpa solidaritas.[2] Menurut Durkheim hukum sebagai moral sosial memilki sanksi sebagai upaya-upaya pembelajaran terhadap pelaku yang melanggar kesepakatan norma-norma sosial. Terkait berat-ringan hukuman tergantung seberapa berat pelanggaran yang dilakukan serta anggapan masyarakat mengenai hal itu.
Misalnya masyarakat Ngaliyan yang memiliki suatu solidaritas sosial. Solidaritas sosial timbul karena adanya hubungan kolektif dalam masyarakat. Solidaritas sosial tersebut menimbulkan suatu kesadaran kolektif bahwa jam 10 malam tidak boleh menyalakan motor yang itu menjadi sebuah hukum. Hukum tersebut merupakan moral sosial masyarakat yang timbul karena adanya suatu kesadaran kolektif. Maka dari itu barangsiapa yang melanggar peraturan tersebut akan mendapatkan sanksi. Beratnya sanksi pelanggaran sesuai dengan beratnya pelangggaran yang dilakukan dan sesuai dengan angggapan masyarakat terkait pelanggaran tersebut.
Durkheim memberikan pembagian terhadap sanksi hukum. Pembagian tersebut berupa sanksi yang bersifat menindak dan sanksi yang bersifat mengganti. Sanksi yang bersifat menindak merupakan sanksi Repressive. Implementasi sanksi Repressive berupa hukum pidana yang bersifat menindak. Hal ini dapat dipahami bahwa kejahatan yang dilakukan si pelanggar melanggar perasaan nurani kolektif masyarakat.
Kemudian sanksi yang bersifat mengganti atau biasa disebut dengan sanksi Restitutive dengan pengertian bahwa hukum dibutuhkan tidak untuk menindak tetapi untuk mengganti atau memperbaiki sesuai dengan keadaan semula. Seperti sanksi yang terdapat dalam hukum perdata yang bukan berupa sanksi tindakan melainkan penggantian material sesuai dengan kerugian pelanggaran.
Durkheim memberikan perhatian yang besar terhadap fakta sosial nonmaterial. Fakta sosial nonmaterial setidaknya terdiri dari moralitas, kesadaran kolektif, representasi kolektif dan arus sosial.
Ciri khas pemikiran Emile Durkheim adalah teorinya yang berangkat dari fakta sosial. Sehingga apa yang terjadi dilapangan distrukturalisasi untuk menjelaskan sebuah realitas konsep sosial. Strukturalisasi pemikirannya bermula dari masyarakat yang mempunyai solidaritas sosial, dalam solidaritas tersebut terdapat kesadaran bersama yang berupa moralitas sosial. Maka moralitas tersebut dapat kita katakan sebagai hukum sesuai dengan fakta sosial.
Durkheim memberikan ketentuan bahwa hukum dalam masyarakat harus memuat sanksi sebagai konsekuensi pelanggaran. Sanksi yang diberikan berbeda-beda sesuai tipe solidaritas masyarakat. Solidaritas masyarakat menurutnya terdapat dua tipe yaitu Mekanis dan Organis. Solidaritas masyarakat mekanis merupakan tipe masyarakat yang relatif tradisional dengan sanksi repressive. Sedangkan solidaritas organis merupakan tipe masyarakat yang bersifat modern atau memilki differensasi fungsional sehingga sanksi yang diberikan bersifat restitutive.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI